Selasa 29 Dec 2020 20:11 WIB

Tren Vonis Ringan Koruptor yang Terus Terulang

Tuntutan ringan ke koruptor bukti tidak pekanya aparat hukum.

Terdakwa perantara pemberi suap kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari, Andi Irfan Jaya (kanan) menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (28/12/2020). Andi Irfan Jaya dituntut 2 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 4 bulan kurungan dalam kasus suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dalam perkara pidana Djoko Tjandra.
Foto:

Sebelumnya, peneliti ICW Kurnia Ramadhana juga sudah menyinggung perihal kemunduran penindakan di era kepemimpinan Firli Bahuri. Terlihat ada kemuduran dari kinerja KPK saat ini utamanya di bidang penindakan berdasarkan catatan evaluasi setahun terakhir KPK yang dibuat oleh ICW dan Transparency Internasional (TII).

Kurnia mengatakan, berdasarkan data evaluasi itu, pada 2019 lalu, jumlah penyidikan mencapai 145 kasus. Saat ini pada periode Firli Bahuri hanya sebanyak 91 kasus. Penurunan juga terjadi pada penuntutan kasus. Jika pada 2019 ada 153 kasus yang masuk ke penuntutan, tahun ini hanya mencapai 75 kasus.

"Kemudian dalam konteks jumlah tangkap tangan, tahun 2020 KPK hanya melakukan tujuh tangkap tangan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, 2019 21 kali, 2018 30 kali, 2017 19 kali, dan 2016 17 kali," katanya.

KPK juga mengalami penurunan tingkat kepercayaan publik brrdasarkan hasil surveri yang dikeluarkan oleh Alvara Research Center, Indo Barometer, Charta Politica, LSI hingga Litbang Kompas. Penurunan itu disebabkan pemerintah yang telah meresmikan revisi UU KPK ditambah memilih sebagian besar pimpinan bermasalah.

KPK juga dianggap gagal meringkus buronan Harun Masiku yang jadi penyuap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Kurnia mengatakan, Ketua KPK bahkan terbukti melanggar kode etik karena menggunakan helikopter untuk kepentingan pribadinya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengklaim lembaganya telah menyelamatkan negara dari potensi kerugian Rp 592 triliun. Menurutnya, nominal tersebut jauh lebih besar dibanding pencapaian yang telah dilalukan pimpinan-pimpinan lembaga antirasuah periode sebelumnya.

"Hasil dari pencegahan yang dilakukan KPK telah menyelamatkan potensi kerugian negara selama satu tahun kami bekerja mencapai Rp 592 T jauh melebihi lima tahun kinerja periode sebelumnya yang mencapai Rp 63,4 T," kata Nurul Ghufron dalam keterangan, Selasa (29/12).

Hal tersebut dia sampaikan menyusul penilaian ICW yang menyebut penindakan yang dilakukan KPK era saat ini sudah melemah. Ghufron mengatakan, ICW harusnya bisa melihat berbagai aspek yang telah dilakukan oleh KPK saat ini.

Dia menuding ICW tidak melihat kinerja KPK yang hanya dengan kekuatan 25 persen SDM mampu bekerja mengawal dana Covid-19 dan mencapai hasil optimal. Dia menambahkan, hak tersebut dilakukan KPK saat kinerja lembaga lain tengah melambat akibat pandemi yang terjadi.

Dia menyebut ICW hanya memandang kinerja dan prestadu KPK dari penangkap koruptor. Dia melanjutkan, ICW tidak melihat kinerja KPK berdasarkan pencegahan apalagi mengedukasi masyarakat utntuk sadar dan tidak berperilaku korup.

Ghufron menngatakan, KPK yakin masyarakat dan rakyat indonesia lebih dewasa dan komprehensif seleranya dalam pemberantasan korupsi. Dia mengatakan, sehingga apa yang disampaikan ICW akan bertentangan dengan kesadaran anti korupsi rakyat.

"Rakyat indonesia orang yang sehat sehingga baik yang manis asin maupun kecut harus dilahap, KPK itu didirikan oleh negara dan didanai untuk mencegah dan menindak, karena itu KPK harus menindak kala ada tipikor, namun sebelum terjadinya tipikornya KPK juga harus mencegah dan menyadarkan penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak korup," katanya.

photo
Kinerja KPK menjadi sorotan publik. - (Republika/Berbagai sumber diolah)
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement