Selasa 29 Dec 2020 13:41 WIB

Mahfud Buka Wacana Lahan Markaz Syariah Jadi Ponpes Bersama

Namun, Mahfud menilai, status lahan yang disengketakan harus diperjelas dulu.

Rep: Ronggo Astungkoro, Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Sejumlah spanduk sambutan kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab terpampang di sepanjang jalan menuju Markaz Syariah, Pesantren Alam Agrokultural, Mega Mendung, Kabupaten Bogor. Menko Polhukam Mahfud MD mewacanakan lahan yang disengketakan difungsikan untuk pondok pesantren bersama. (ilustrasi)
Foto: Republika/Shabrina Zakaria
Sejumlah spanduk sambutan kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab terpampang di sepanjang jalan menuju Markaz Syariah, Pesantren Alam Agrokultural, Mega Mendung, Kabupaten Bogor. Menko Polhukam Mahfud MD mewacanakan lahan yang disengketakan difungsikan untuk pondok pesantren bersama. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, membuka kemungkinan penggunaan lahan sengketa antara PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dengan Front Pembela Islam (FPI) sebagai pondok pesantren bersama. Namun, kejelasan hukum kepemilikan tanah tersebut harus jelas terlebih dahulu.

"Jika sudah jelas negara sebagai pemilik, maka kita bisa usul untuk dijadikan pondok pesantren bersama," tulis Mahfud di Twitter lewat akun pribadinya, @mohmahfudmd, dikutip Selasa (29/12).

Baca Juga

Diketahui, PTPN VIII, beberapa waktu lalu, melayangkan somasi kepada pimpinan FPI, Habib Rizieq Shihab (HRS), mengenai lahan Markaz Syariah di Megamendung, Kabupaten Bogor. PTPN VIII menyatakan, pondok pesantren Markaz Syariah yang dipimpin HRS berdiri di areal milik PTPN VIII. PTPN VIII selanjutnya meminta Markaz Syariah meninggalkan lokasi tersebut.

PTPN VIII menyebut, hal yang dilakukan pihak Markaz Syariah merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak, larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 385 KUHP, Perpu No. 51 Tahun 1960 dan atau Pasal 480 KUHP.

Sementara, FPI mengeklaim, jauh sebelum berdirinya pesantren Markaz Syariah, lahan itu memang terbengkalai dan dikelola oleh masyarakat sekitar. Hingga akhirnya, HRS dan FPI melanjutkan mengelola lahan itu pada 2013 untuk mendirikan pesantren dengan membeli lahan yang disebut hak garap tanah.

Mahfud mengatakan, untuk menjadikannya sebagai pesantren bersama, persoalan hukum mengenai tanah tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu. Status tanah tersebut harus jelas terlebih dahulu milik negara atau bukan baru hal itu dapat dilakukan.

"Saya mengatakan bahwa masalah hukumnya harus selesaikan dulu, apakah tanah milik negara atau bukan. Selesaikan dulu hukum kepemilikannya dengan Kemen Agraria-TR dan BUMN," kata Mahfud dalam cuitan yang sama.

Pada kegiatan diskusi Dewan Pakar KAHMI pada Ahad (27/12) malam lalu Mahfud berpendapat, kalau memang tanah itu digunakan untuk keperluan pesantren, tak masalah jika dilanjutkan saja penggunaannya. Namun, yang mengurus pesantren itu nantinya bisa dari Majelis Ulama.

"Misalnya ya NU-Muhammadiyah gabung, gabunganlah termasuk kalau mau ya FPI di situ bergabung rame-rame, misalnya ya. Tapi saya tidak tahu solusinya karena itu urusan hukum pertanahan," kata Mahfud dalam diskusi tersebut yang dikutip dari Youtube Dewan Pakar KAHMI Official, Selasa (29/12).

Kemarin, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan, pihaknya memantau kasus sengketa lahan yang melibatkan PTPN VIII dan Markaz Syariah. Namun, BPN untuk sementara ini memercayakan penyelesaian sengketa pada pihak PTPN VIII.

"Tentang soal HGU PTPN, kita belum bisa memberikan tanggapan karena itu kan sengketa antara PTPN sebagai pemegang HGU dengan yang menggarap. Silakan diselesaikan mereka ya," kata Dirjen Pengendalian, Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR) Kementerian ATR/BPN Budi Situmorang pada Republika, Senin (28/12).

Budi memang enggan memberi tanggapan rinci soal sengketa PTPN VIII dengan HRS. Hanya saja, Budi memastikan status lahan di sana berupa tanah Hak Guna Usaha (HGU) PTPN VIII. "ATR/BPN belum bisa memberikan tanggapan karena internal mereka kan ya. Statusnya ya HGU PTPN VIII. Kita belum berposisi apa pun ini." ujar Budi.

photo
Habib Rizieq Shihab - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement