Rabu 16 Dec 2020 16:37 WIB

Pasal UU Ciptaker yang Digugat KSPI, Salah Satunya Soal TKA

Ada 48 ketentuan dari tiga pasal UU Ciptaker yang diuji KSPI ke MK.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Ketua Majelis Hakim Mahkamah (MK) Konstitusi Anwar Usman (tengah) didampingi anggota Majelis Hakim MK Aswanto (kiri) dan Wahiduddin Adams (kanan) dalam sebuah sidang di gedung MK, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Antara/Galih Pradipta
Ketua Majelis Hakim Mahkamah (MK) Konstitusi Anwar Usman (tengah) didampingi anggota Majelis Hakim MK Aswanto (kiri) dan Wahiduddin Adams (kanan) dalam sebuah sidang di gedung MK, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah menyelesaikan perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang mereka ajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan berkas permohonan perbaikan mereka, ada 48 ketentuan di dalam UU Ciptaker yang hendak mereka uji.

Berdasarkan berkas permohonan yang diunggah di laman resmi MK, 48 ketentuan yang diuji tersebut berasal dari tiga pasal di dalam UU Ciptaker, yakni pasal 81, pasal 82, dan pasal 83. Pasal yang ketentuan di dalamnya paling banyak diuji ada pada pasal 81, yakni sebanyak 44 ketentuan. Sisanya dua ketentuan di pasal 82 dan dua ketentuan di pasal 83.

Baca Juga

Ketentuan-ketentuan yang diujimaterikan di MK berkaitan dengan hal-hal terkait ketenagakerjaan. Hal-hal itu, di antaranya soal lembaga pelatihan kerja perusahaan, pelaksana penempatan tenaga kerja, tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerja alih daya atau outsourcing.

Kemudian ketentuan soal waktu kerja, cuti, upah dan upah minimum, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon (UP), uang penggantian hak (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK), penghapusan sanksi pidana, dan jaminan sosial.

Dalam bagian kerugian konstitusional dijelaskan alasan gugatan itu diajukan. Salah satu di antaranya soal tenaga kerja asing (TKA) yang diatur dalam Pasal 81 angka 4 UU Ciptaker itu. Para pemohon merasa mendapatkan kerugian konstitusional dari aturan tersebut karena aturan itu membuat pengaturan proses rekrutmen dan penempatan TKA di Indonesia menjadi lebih mudah.

Di sana dijelaskan, pemberi kerja yang mempekerjakan TKA tidak lagi wajib memiliki izin, yakni izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberi kerja cukup memiliki Rencana Penggunaan TKA (RPTKA).

Tapi, di aturan itu  tidak disebutkan secara jelas kriteria keterangan yang harus dimuat dalam RPTKA yang sebelumnya ditentukan di UU ketenagakerjaan. Pemohon khawatir TKA dapat mengisi lapangan pekerjaan yang semestnya adalah hak pekerja atau buruh Indonesia.

Berkas perbaikan permohonan bernomor 101/PUU-XVIII/2020 itu diberikan ke MK pada tanggal 7 Desember 2020 lalu. Berkas perbaikan permohonan ini diajukan oleh sejumlah pemohon. Beberapa pemohon berasal dari serikat pekerja, yakni dari KSPI, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), FSPMI.

Kemudian ada juga pemohon berstatus pekerja tetap, pekerja kontrak, dan pekerja alih daya. Para pemohon memberikan kuasa kepada 20 kuasa hukum dalam berperkara di MK.

Sebelumnya, MK telah menggelar sidang uji materi terhadap UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh KSPI. Agenda sidang saat itu berupa pemeriksaan pendahuluan. Sidang perkara bernomor 101/PUU-XVIII/2020 itu dimulai sekitar pukul 11.00 WIB.

photo
Pengesahan UU Cipta Kerja (ilustrasi) - (republika)

Kuasa hukum para pemohon, Andi Muhammad Asrun, membacakan permohonan yang mereka ajukan tersebut di hadapan majelis hakim konstitusi secara virtual. "Para pemohon mengajukan permohonan uji materiil terhadap pasal 81, 82, 83 UU Cipta Kerja," ungkap Andi dalam persidangan virtual pada Selasa (24/11) siang.

Dia menjelaskan, ada sejumlah pasal dalam UU Dasar (UUD) 1945 yang dijadikan pijakan pengujian konstitusionalitas UU Cipta Kerja itu, yakni pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7). Kemudian pasal 27 ayat (2), pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28e ayat (3) dan pasal 28i.

Hakim Konstitusi, Saldi Isra, pada sidang itu meminta para pemohon untuk membedakan dengan jelas kerugian hak konstitusional dengan alasan-alasan mempersoalkan konstitusionalitas norma-norma yang diujikan. Pasalnya, dia melihat, dalam permohonan saat itu masih banyak yang berhimpitan.

"Jadi ini beratnya kalau banyak pasal yang diujikan, bukan kami tidak menerima banyak pasal yang diujikan, karena masing-masing pasal itu harus diuraikan secara jelas mengapa pasal itu bertentangan dengan UUD yang dijadikan dasar pengujian," kata Saldi dalam sidang virtual, Selasa (24/11).

Dia mengatakan, kerugian hak konstitusional dan alsan-alasan mempersoalkan konstitusionalitas norma-norma yang diujikan merupakan dua hal berbeda. Hak konstitusional, kata dia, menguraikan kedudukan hukum pemohon.

"Jadi menjelaskan kenapa dirugikan dengan berlakunya norma-norma yang dipersoalkan konstitusionalitasnya," kata Saldi.

Kemudian, di pokok permohonan terdapat alasan-alasan mengajukan permohonan. Di situ, yang diuraikan adalah alasan para pemohon berpendapat pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945.

Dia melihat, masih ada banyak yang berhimpitan terkait kedua hal tersebut pada permohonan yang diajukan oleh KSPI tersebut. "Ini banyak yang berhimpitan, Pak Asrun. Seolah-olah dalil kerugian konstitusional itu menjadi dalil yang digunakan untuk menjelaskan pertentangan konstitusionalitas. Coba dilihat lagi nanti," tutur dia.

photo
Jokowi jawab hoaks seputar UU Cipta Kerja - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement