Selasa 08 Dec 2020 06:38 WIB

Masa Depan Daging Buatan, Ini Kata Pakar Peternakan IPB

Era daging buatan dimulai pada tahun 1998 lalu.

Prof Ronny Rachman Noor, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University.
Foto: Dok IPB University
Prof Ronny Rachman Noor, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menanggapi hebohnya pemberitaan terkait pemasaran daging buatan (artificial meat) di  mana Singapura mengizinkannya secara komersial, Prof Ronny Rachman Noor menyatakan bahwa isu daging buatan ini memang tidak dapat dikesampingkan.

Menurut Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan ini, fenomena tersebut terkait erat dengan pemenuhan protein hewani yang menjadi masalah nyata di masa depan. Pada 2050, diperkirakan penduduk dunia mencapai 9 miliar orang.  Dengan tingkat produktivitas yang telah dicapai saat ini, dunia hanya mampu memberi makan untuk sekitar 8 miliar orang.

Menurutnya, di tengah tekanan peningkatan penduduk dunia, industri peternakan harus meningkatkan produksi daging  sekitar 65 persen di tahun 2020 untuk memenuhi kebutuhan daging dunia.  "Jadi memang sangat wajar jika pemenuhan akan daging ini harus dilakukan tidak saja melalui sistem peternakan komersial yang ada saat ini  namun juga melalui berbagai alternatif lain seperti misalnya daging buatan,” kata Prof Ronny seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (7/12).

Prof Ronny menyatakan,isu terkait daging buatan bukanlah sesuatu yang baru. Era daging buatan dimulai pada 1998 ketika Jon Vein mematenkan daging buatannya yang dikembangkan di laboratorium dengan menggunakan teknik kultur sel dan jaringan untuk tujuan konsumsi manusia.

Sejak saat itu, daging buatan mendapat perhatian dan teknologinya mengalami perkembangan yang pesat. Bahkan di tahun 2009, majalah TIME menjuluki daging buatan sebagai terobosan besar.

Pada 2013, perhatian dunia terpusat pada pengumuman keberhasilan pembuatan burger berbahan daging buatan pertama yang ditumbuhkan dengan menggunakan kultur jaringan di laboratorium dengan total biaya penelitian dan pengembangan mencapai 300 ribu dolar AS..  

Keberhasilan ini, kata dia,  tentunya membawa imajinasi masyarakat bahwa ke depan kemungkinan daging buatan ini akan dapat menggantikan peran daging tradisional yang didapat dengan cara beternak.

“Perkembangan teknologi daging buatan memang sangat pesat. Sebagai contoh di tahun 2015 Maastricht University melakukan konferensi internasional pertama yang khusus membahas perkembangan teknologi daging buatan ini,” imbuhnya.

Di tahun 2018, salah satu perusahaan bernama Meattable juga menyatakan akan memproduksi daging buatan secara komersial yang dikembangkannya melalui teknologi kultur jaringan asal tali pusar ternak.  Melalui pengamatan perkembangan teknologi, daging buatan umumnya dapat dikategorikan dalam empat kelompok, yaitu daging alternatif (alternative meat) yang umumnya dibuat dengan menggunakan sumber protein dari tanaman dan jamur atau yang disebut juga dengan mycoprotein.

Kelompok kedua dinamakan daging substitusi (meat substitute) atau dikenal juga dengan in vitro meat yang dibuat berbasis pengkulturan sel dan jaringan di laboratorium.

Kelompok ketiga melibatkan rekayasa blueprint genetik ternak untuk menghasilkan daging dengan spesifikasi tertentu yang biasanya disesuaikan dengan keinginan konsumen ataupun kebutuhan kesehatan.

Kategori keempat didapat dengan cara melakukan cloning dengan menggunakan teknologi somatic cell cloning. Yaitu menggandakan ternak dengan cara mencopy ternak untuk menghasilkan ternak lainnya tanpa melalui teknik perbuahan alami untuk memproduksi daging dengan spesifikasi dan kualitas tertentu.

Dalam pemenuhan kebutuhan daging dunia ini, menurut Prof Ronny, harus dicari alternatif lain disamping apa yang sudah dilakukan saat ini, termasuk mencari alternatif sumber protein lainnya. Seperti protein asal tanaman, jamur, ganggang dan juga serangga yang kesemuanya memiliki kandungan protein yang tinggi yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.

Lebih lanjut, Prof Ronny mengemukakan, sangat wajar jika banyak kalangan yang berpendapat bahwa keberadaan daging buatan dapat mengurangi risiko manusia  tertular penyakit dari ternak. Namun demikian, tetap harus diperhatikan dampak positif dan negative dari keberadaan teknologi ini.

"Secara teoritis proses pembuatan daging buatan memang memerlukan kontrol proses dan lingkungan yang sangat ketat dan berdampak pada pengurangan tingkat kontaminasi dan bakteri pathogen yang ditularkan melalui makanan seperti Salmonella dan E. Coli.

Namun demikian dalam melakukan kultur sel dan jaringan, dampak negatifnya tidaklah dapat seratus persen dikontrol secara pasti karena melibatkan proses biologi yang sangat kompleks. Oleh sebab itu sesuatu yang berdampak negatif dapat saja terjadi walaupun prosesnya sudah dikontrol secara ketat, " jelasnya.

Menurutnya, kekhawatiran sel mengalami modifikasi melalui proses yang dinamakan epigenetic tetap saja dapat terjadi selama proses pengkulturan jaringan dan dapat saja berdampak negatif pada metabolisme dan kesehatan manusia.

Terkait dengan kemungkinan beredarnya daging buatan di Indonesia, Prof Ronny berpendapat bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa konsumen umumnya akan membeli daging dengan bentuk, warna dan tekstur yang sudah biasa dikonsumsi.  Oleh sebab itu akan menjadi tantangan tersendiri bagi produsen daging buatan untuk membuat daging buatan yang mirip dengan daging yang ada di pasaran.

Tantangan lain yang akan dihadapi oleh daging buatan ke depan,  menurutnya,  adalah aturan dan sertifikasi yang harus secara jelas menyatakan bahwa daging buatan itu aman untuk dikonsumsi, tidak membahayakan kesehatan dan harus halal.

Di pasaran, daging buatan harus dapat bersaing dengan daging tradisional dari segi penerimaan konsumen, rasa dan tekstur.  Sehingga,  menurutnya,  saat ini daging buatan berbasis protein tumbuhan masih sangat terbatas seperti misalnya untuk vegetarian.

“Saat ini dunia peternakan yang lebih ramah lingkungan dan memperhatikan animal welfare memang menjadi keharusan.  Perkembangan teknologi peternakan ke depan mamang harus mengakomodasi isu ini,” jelasnya.

Sebagai contoh, Uni Eropa di abad 21 mendatang akan menerapkan konsep agroecology dan industrial ecology dalam dunia peternakan. Melalui konsep ini, peternakan akan menggunakan hanya jenis ternak yang telah diseleksi dan dikembangkan selama ratusan tahun dan dinilai  cocok pada lingkungan peternakan dan juga sistem produksi yang akan diterapkan.

Dengan visi baru ini,  industri peternakan mendatang diharapkan akan lebih ramah lingkungan dan juga memperhatikan dengan baik animal welfare yang menjadi kunci industri peternakan masa depan.

Arah perbaikan industri peternakan dalam menghasilkan susu, daging dan telur yang ramah lingkungan ini memang menjadi keharusan mengingat peternakan akan tetap menjadi tulang punggung dunia dalam pemenuhan akan protein hewani.

“Ke depan diperkirakan walaupun teknologi daging buatan akan terus berkembang dan tingkat penerimaan konsumen meningkat, namun peran daging tradisional tidak akan pernah tergantikan,” papar Prof Ronny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement