REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Puti Almas, Sapto Andika Candra
Sikap keras pemerintah Indonesia terhadap klaim Benny Wenda mendapat tanggapan. Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat atau The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, menyatakan siap bertemu Presiden Joko Widodo. Pria yang mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara Papua Barat itu menilai harus ada pembicaraan antarpresiden terkait keberlangsungan Papua Barat.
“Saya siap untuk duduk bersama Presiden Widodo,” ujar Benny dalam keterangan tertulis yang dikutip dari situs resmi ULMWP, Jumat (4/12).
Benny menyatakan, pertemuan dilakukan sebagai bentuk pembicaraan antarnegara. Dia ingin semua pihak menyetujui proses untuk mengakhiri konflik yang selama ini terjadi di Tanah Cenderawasih. Proses itu, yakni melalui mekanisme mediasi internasional.
Selain itu, dia menyampaikan, masyarakat Papua Barat juga harus memutuskan agar tak ada lagi konflik di Papua. Menurutnya, referendum kemerdekaan Papua harus kembali dibahas dan bukan lagi waktunya untuk melakukan operasi militer dan pembunuhan di Papua.
"Komisaris Tinggi PBB harus diizinkan masuk, sesuai dengan seruan dari 82 negara. Presiden harus mengakhiri darurat militer di Papua Barat dan duduk untuk berbicara,” jelas dia.
Pendeklarasian pemerintah sementara Papua Barat oleh Benny dilakukan pada Selasa (1/12). Benny menyatakan pemerintah sementara Papua Barat telah dibentuk dan siap untuk mengambil alih wilayahnya. Dia juga menyatakan tidak akan lagi tunduk kepada aturan-aturan dari Jakarta atau pemerintah Indonesia.
Benny menolak perpanjangan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. "Mulai hari ini, 1 Desember 2020, kami mulai menerapkan konstitusi kami sendiri dan mengklaim kembali tanah kedaulatan kami," ungkap Benny dalam keterangan resminya.
Pendeklarasian pembentukan pemerintah sementara Papua Barat itu juga langsung mendapat respons dari pihak Manajemen Markas Pusat Komnas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM). Mereka menyatakan tidak mengakui klaim Benny tersebut dan melakukan mosi tidak percaya.
"TPNPB tidak akui klaim Benny Wenda, karena Benny Wenda lakukan deklarasi dan umumkan pemerintahannya di negara asing yang tidak mempunyai legitimasi mayoritas rakyat Bangsa Papua, dan juga di luar dari wilayah hukum revolusi," ungkap Juru Bicara TPNPB OPM, Sebby Sambom, kepada Republika, Rabu (2/12).
Sebby juga mengatakan, klaim Benny sebagai presiden sementara Papua Barat merupakan bentuk kegagalan ULMWP dan Benny sendiri. TPNPB OPM tidak bisa mengakui klain Benny karena dia warga negara Inggris. Menurut Sebby, warga negara asing tidak bisa menjadi presiden Papua Barat.
"Menurut hukum internasional Benny Wenda telah deklarasikan dan mengumumkan negara dan klaimnya di negara asing, yaitu di negara Kerajaan Inggris, itu sangat tidak benar dan tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia," terang dia.
Atas semua itu, maka TPNPB OPM menyatakan menolak klaim Benny. OPM menilai Benny tidak akan menguntungkan keinginan masyarakat Papua untuk merdeka penuh. Sebby juga menyatakan, TPNPB OPM mengumumkan mosi tidak percaya kepada Benny karena Benny dinilai merusak persatuan dalam perjuangan bangsa Papua.
"Juga diketahui, Benny Wenda kerja kepentingan kapitalis asing Uni Eropa, Amerika dan Australia. Dan hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip revolusi untuk kemerdekaan bagi bangsa Papua," kata dia.
Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menganggap Benny Wenda membuat negara ilusi dengan deklarasi pemerintahan sementara di Papua Barat yang dipimpinnya sendiri sebagai presiden. Mahfud menjelaskan syarat berdirinya sebuah negara setidaknya ada tiga, yakni rakyat, wilayah, dan pemerintah, serta ditambah pengakuan dari negara lain.
"Menurut kami, Benny Wenda ini membuat negara ilusi, negara yang tidak ada dalam faktanya. Negara Papua Barat itu apa?" kata Mahfud, di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (3/12).
Lihat postingan ini di Instagram
Dia menjelaskan, ada syarat berdirinya suatu negara, yakni ada rakyat yang dikuasai, wilayah yang dikuasai, dan kemudian pemerintah. Negara yang Benny deklarasikan ia nilai tidak ada. "Rakyatnya siapa? Dia memberontak. Wilayahnya kita menguasai. Pemerintah, siapa yang mengakui dia pemerintah? Orang Papua sendiri tidak juga mengakui," kata dia.
Kemudian, syarat lain menurut Mahfud ialah adanya pengakuan dari negara lain dan masuk dalam organisasi internasional. Mahfud mengatakan, tidak ada yang mengakui negara yang dideklarasikan oleh Benny. Menurut dia, hanya ada dukungan secara politik oleh negara kecil di Pasifik bernama Vanuatu.
"Tapi kecil itu daripada ratusan negara besar, Vanuatu kan kecil dan tidak masuk juga ke organisasi internasional, hanya disuarakan secara politik," tutur Mahfud.
Selain itu, Mahfud mengingatkan, Papua melalui referendum pada 1969 sudah final dan sah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia menjelaskan referendum yang berlangsung pada November 1969 tersebut disahkan Majelis Umum PBB bahwa Papua itu adalah sah bagian dari kedaulatan Indonesia.
"Karena itu tidak akan ada (referendum) lagi, PBB tidak mungkin membuat keputusan dua kali dari hal yang sama atau terhadap hal yang sama," ujarnya.
Isu Papua tak hanya berkutat pada deklarasi Benny Wenda. Di Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Melbourne, Australia, lima orang menerobos masuk dan mengibarkan bendera berlambang bintang kejora, yang selama ini identik dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Aksi tersebut terekam kamera dan menjadi viral di media sosial.
Atas insiden ini, Pemerintah Indonesia telah menyampaikan protes keras atas pada Pemerintah Australia. KJRI Melbourne melaporkan kejadian ini ke polisi dan mengirim nota protes ke pemerintah setempat, sementara KBRI Canberra mengirim nota protes ke pemerintah federal melalui Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT).
“Pihak Australia telah memyampaikan penyesalan mereka dan menjanjikan akan melakukan investigasi,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah.
Insiden dilaporkan terjadi tepatnya pada 1 Desember lalu pukul 08.00 waktu setempat. Dalam video yang terlihat, pelaku datang dan memanjat atap hingga kemudian mengibarkan bendera yang identik dengan OPM, serta spanduk bertuliskan ‘TNI OUT STOP KILLING PAPUA’.
Kondisi kantor KJRI Melbourne saat itu belum dibuka, kegiatan kerja baru dimulai pukul 09.00. Petugas keamanan langsung naik ke atap dan meminta para pelaku untuk turun. Namun, kelima orang tersebut malah melakukan kekerasan kepada petugas keamanan KJRI Melbourne.
Petugas keamanan kemudian melapor ke pihak berwajib. Aksi ini berlangsung selama sekitar 12 menit. Petugas kepolisian Melbourne datang pukul 08.18 waktu setempat.
Kantor Staf Kepresidenan (KSP) mengingatkan Australia terkait komitmen dalam menjaga keamanan area Konsulat Jenderal RI di Melbourne. Deputi V Bidang Polhukam dan HAM KSP, Jaleswari Pramodhawardhani, menyebutkan merujuk pada ketentuan Konvensi Wina mengenai hubungan konsuler serta hukum kebiasaan internasional, maka area konsulat jenderal harus dihormati dan tidak dapat diganggu gugat.
"Terlebih diterobos masuk dan disusupi tanpa izin. Sehingga insiden yang terjadi di KJRI Melbourne, tidak dapat dibenarkan dan bertentangan dengan hukum internasional," kata Dani, sapaan Jaleswari, Jumat (4/12). Dani juga mengingatkan bahwa negara penerima, yakni Australia, punya kewajiban berdasarkan hukum internasional untuk menjaga keamanan dari area KJRI.