REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rakyat Indonesia dikejutkan dengan aksi teror pembunuhan satu keluarga di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada Jumat (27/11). Pelaku kekerasan dan pembunuhan disebut adalah kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora.
Padahal pihak kepolisian telah membentuk Satgas Operasi Tinombala untuk melumpuhkan dan menangkap jaringan teroris MIT sejak beberapa tahun lalu. Walhasil penanganan teroris di Indonesia pun dipertanyakan.
Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Yana Syafriyana Hijri menilai, telah terjadi pergeseran perilaku teror kelompok MIT. Pasalnya, saat ini, tindakan teror juga disertai perampokan, mengambil stok beras dan barang-barang milik warga.
"Setelah ditinggal Santoso dan Basri, nampaknya kelompok ini lebih mengarah menjadi gerombolan kriminal ketimbang kelompok teroris," ujar dosen Ilmu Politik UMM tersebut dalam pesan singkatnya, Selasa (1/12).
Yana menilai, eksisnya kelompok Ali Kalora yang diperkirakan berjumlah 11-13 orang, dikarenakan mereka mendiami wilayah pegunungan dan hutan di wilayah Poso hingga Parigi, Sulteng. Praktis dengan medan seperti itu membuat upaya penangkapan kelompok teroris menjadi terhambat.
Bahkan, sambung dia, Operasi Tinombala yang sudah berlangsung hampir lima tahun gagal menangkap Ali Kalora.
Alumni Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) itu juga mempertanyakan kepemimpinan Komjen Boy Rafli Amar di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Padahal setelah dilantik Mei 2020 menggantikan Komjen (Purn) Suhardi Aliyus, Boy berjanji menjadikan penanganan sisa kelompok teror Santoso sebagai prioritas utama agenda BNPT.
Justru pada awal Agustus 2020, menurut Hana, Ali Kalora dan kelompoknya melakukan penyanderaan dua orang petani dan merampok rombongan pegawai Pemda Poso di jalan Trans-Sulawesi.
"Mungkin keberadaan Ali Kalora sempat diremehkan, karena dibandingkan Santoso yang memiliki kemampuan tempur dan perekrutan anggota, kapasitas Ali Kalora diragukan bisa membuat kelompok teror ini bertahan, apalagi ditengah kepungan intensif Operasi Tinombala," ucap Yana.
Dia melanjutkan, MIT pimpinan Santoso sempat memiliki lebih dari 50 anggota yang terus berkurang akibat tertangkap aparat. Namun kehilangan dua pimpinan kunci ditambah penangkapan, menurut Yana, sempat membuat BNPT meyakini kelompok teror ini menyisakan beberapa orang saja.
"Tiga insiden teror serius dalam tahun 2020 di Sulawesi Tengah yang menjadi tanggungjawab kelompok teror pimpinan Ali Kalora membuat kapasitas Komjen Boy Rafli Amar layak diragukan dalam memimpin pemberantasan terorisme," ucap Yana.