Senin 30 Nov 2020 19:09 WIB

8 Pandangan Komisi III Soal Perpres Pelibatan TNI

Komisi III DPR memberikan pandangan soal definisi hingga tumpang tindih aturan lain.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
Petugas gabungan TNI-Polri melakukan pengamanan sidang terorisme.
Foto: Antara/Galih Pradipta
Petugas gabungan TNI-Polri melakukan pengamanan sidang terorisme.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR memiliki delapan pandangan tentang Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme. Delapan poin pandangan itu tertulis dalam salinan surat bernomor 362-DW/KOM.III/MP.II/XI/2020 yang diterima Republika, Rabu (30/11).

Surat tertanggal 18 November 2020 itu ditandatangani oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa. Salinan surat tersebut juga sudah dikonfirmasi kebenarannya oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh.

Baca Juga

“Ya, itu benar surat pandangan Komisi III,” ujar Pangeran saat dikonfirmasi, Senin (30/11).

Pada halaman 5 surat tersebut, tertulis ‘Pandangan Komisi III DPR dalam Pasal per Pasal mengenai mekanisme Pemberian Pertimbangan DPR RI terhadap Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme’.

Berikut delapan catatan Komisi III soal Perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme:

1. Pasal 1 ayat (1)

Terdapat dua pendapat terkait pasal ini, khususnya terkait definisi aksi terorisme. Dalam poin a tertulis, “Aksi Terorisme” seharusnya dipahami sebagai tindakan nyata yang menimbulkan suasana teror yang meluas dan melampaui kemampuan kepolisian. Poin b, frasa “atau dengan eskalasi tinggi” sebaiknya diubah menjadi “bereskalasi tinggi”.

Dalam keterangannya, definisi “aksi terorisme” belum menunjukkan perbedaan aksi terorisme dengan Tindak Pidana Terorisme. Sehingga, belum mampu menjelaskan keadaan dan situasi peran TNI, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

2. Pasal 2 ayat (2) Tugas TNI dalam Aksi Terorisme

Terkait pasal ini, Komisi III memberikan tiga pendapat. Poin a tertulis, peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme pada prinsipnya hanya melakukan penindakan sebagaimana Pasal 2 ayat (2) huruf b Rancangan Perpres dan berkoordinasi dengan BNPT.

Poin b, kegiatan penangkalan dapat memiliki ruang lingkup yang luas. Sehingga dapat diartikan sebagai kegiatan pencegahan yang tentu berbeda pendekatan dengan pola militer atau penindakan. Terakhir, poin c, dalam hal ini perlu pengaturan yang lebih rinci dengan batasan-batasan yang jelas bahwa telah timbul ancaman yang nyata dan membutuhkan pola pendekatan militer, yakni sudah di luar kemampuan dari kepolisian.

3. Pasal 3

Komisi III memberikan tiga pendapat, poin a tertulis, kegiatan operasi intelijen memerlukan batasan-batasan yang lebih jelas. Karena, penyelidikan bukan tugas pokok TNI. Poin b, kegiatan operasi informasi harus dijelaskan bagaimana cara mendapatkan informasi tersebut, karena harus disesuaikan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) dan peraturan perundang-undangan.

Poin c, frasa “kegiatan dan/atau operasi lainnya” dalam lingkup UU Terorisme ini juga menimbulkan multitafsir dan perlu mendapatkan pengaturan yang lebih tegas mengenai bentuk dan batasannya.

Dalam pendapat terkait Pasal 3 ini, Komisi III ingin menyampaikan bahwa Perpres tersebut berpotensi terjadinya persinggungan kewenangan yang dimiliki oleh pihak lain, yakni aparat penegak hukum dan intelijen. Hal ini berpotensi menimbulkan dualisme kewenangan dan pertentangan hukum.

4. Pasal 5

Pendapat Komisi III soal pasal ini tertulis, pengaturan dan kegiatan dan/atau operasi penangkalan yang dimaksud tidak sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, “yang seharusnya mendapat perintah dari Presiden dan mendapatkan persetujuan dari DPR”.

5. Pasal 6

Tertulis, operasi khusus dalam hal ini merupakan operasi yang bersifat sementara (temporer), bukan permanen. Sehingga pengaturannya harus mendapat penegasan bahwa operasi tersebut hanya bersifat sementara dan tidak membutuhkan peningkatan menjadi kegiatan rutin dan sejenisnya atau batasan waktu.

6. Pasal 7

Komisi III memberikan dua pendapat ihwal pasal ini, poin a, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, TNI tidak berwenang melakukan pencegahan terorisme. Poin b, pencegahan tindak pidana terorisme merupakan kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

7. Pasal 8 sampai 11 terkait Bab Penindakan

Poin a, perlu penegasan kembali bahwa tindakan “penindakan” terhadap aksi terorisme merupakan perintah Presiden dan mendapatkan persetujuan dari DPR. Selanjutnya poin b, pengerahan kekuatan TNI harus berdasarkan Keputusan Politik (Pasal 3, Pasal 7 ayat (3), dan Pasal 17 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI).

8. Pasal 14

Tertulis, anggaran untuk mengatasi aksi terorisme yang dilakukan TNI sesuai UU 34 Tahun 2004 hanya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Herman Herry mengatakan, potensi dualisme kewenangan dapat timbul dari rancangan perpres tersebut. Khususnya, antara TNI dan aparat penegak hukum dalam penanganan terorisme.

Untuk itu, perlu adanya pengaturan yang lebih rinci terhadap keterlibatan TNI. Sebab, tugas yang meliputi penangkalan dan pemulihan aksi terorisme merupakan kewenangan BNPT, tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement