REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Kadiv Humas Polri, Komjen (Purn) Setyo Wasisto mengungkapkan bahwa keberadaan terpidana cessie Bank Bali Joko Tjandra pernah terendus di dua negara, jauh sebelum tertangkap pada medio Juli 2020 lalu. Hal tersebut Setyo ungkapkan saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (23/11) dengan terdakwa Prasetijo Utomo.
Awalnya, Jaksa Penuntut Umum Wartono menanyakan ihwal status red notice Djoko Tjandra muncul pada tahun berapa. Setyo pun mengungkapkan sudah keluar nomor kontrol terhadap Djoko Tjandra pada 2009.
"Terkait status red notice Djoko Tjandra, apa saudara pernah membuat surat atas nama yang bersangkutan tadi terkait dengan pencegahan penangkapan atau cekal selama menjabat?" tanya Jaksa kepada Setyo.
Kepada Jaksa, Setyo mengaku pernah bersurat dengan interpol Taiwan lantaran ada informasi keberadaan Djoko Tjandra. "Kami minta kerja sama NCB Interpol Taiwan memberikan atensi dan apabila masuk ke agar bisa ditangkap dan ditahan," jawab Setyo.
Selain Taiwan, keberadaan Djoko Tjandra juga sempat terendus di Korea Selatan. Setyo mengaku pernah bersurat dengan pihak Interpol Korsel untuk menangkap Djoko Tjandra bila masuk wilayah Korea.
"Kami dapat informasi saya lupa putra atau putri Djoko Tjandra menikah di Korea sehingga, kami berharap ada kerja sama Interpol Korea menangkap yang bersangkutan apabila masuk Korea," ujarnya.
Namun, Setyo tidak begitu ingat kapan kejadian tersebut. Hanya saja kejadian tersebut terjadi saat dirinya masih menjabat sebagai Sekretaris NCB Interpol pada 2013-2015.
"Taiwan 2014, Korea 2015 kalau tidak salah," ungkapnya.
Masih dalam persidangan, Setyo juga mengaku pernah mengingatkan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM maupun Kejaksaan Agung terkait kedatangan Djoko Tjandra ke Indonesia. Karena, pada 2015, ada kabar orang tua Djoko Tjandra meninggal dunia.
"Saya menyurat ke Ditjen Imigrasi tanggal 12 Februari 2015. Alasan saya membuat surat karena mendapat laporan dari anggota, orang tua dari Djoko Tjandra meninggal dan disemayamkan di rumah duka di Jakarta. Kami mebyurat berdasar referensi red notice," ungkap Setyo.
"Kami menjelaskan bahwa Djoko Tjandra adalah buronan DPO Kejagung. Kami juga mencantumkan ada dua identitas, karena kami mendapat ada adendum dari red notice, adanya identitas baru dari, nomor paspor dari negara Papua Nugini," sambungnya.
Setyo mengaku tidak mendapat surat balasan dari Imigrasi saat itu. Kendati demikian, saat itu ada tim yang berjaga di tempat prediksi Djoko Tjandra akan datang.
"Bagaimana respons Imigrasi?" tanya Jaksa.
"Tidak ada surat balasan, tetapi kami langsung bergerak. Ada tim Interpol, Bareskrim, Jejagung dan Imigrasi. Kami ingat betul mendapat laporan pelaksanaan tugas kegiatan tersebut, baik di rumah duka, pemakaman, maupun di Bandara Halim. Ternyata nihil tidak diketemukan," jawab Setyo.
Setyo pun mengaku tidak mengetahui apakah nama Djoko Tjandra masuk ke dalam sistem pencekalan Imigrasi atau tidak. Karena sifat NCB Interpol hanya mengingatkan, adanya prediksi DPO akan masuk ke Indonesia.
"Tetapi harapan kami mengingatkan, karena ada potensi Djoko Tjandra masuk ke Indonesia. Karena orang tuanya meninggal," ujarnya.
Dalam perkara ini, mantan Kepala Biro Koordinator Pengawas Penyidik PNS Polri, Brigjen Prasetijo Utomo didakwa menerima suap sebesar 150 ribu dolar AS atau setara Rp 2 miliar. Penerimaan suap tersebut dilakukan untuk menghapus nama terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra dalam red notice Interpol Polri.
Prasetijo didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.