REPUBLIKA.CO.ID, TANJUNG PRIOK -- Kementerian Perhubungan Cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalui Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Priok meluncurkan program Manajemen Limbah Kapal Terpadu di Pelabuhan Tanjung Priok pada Jumat (20/11).
Mengangkat logo bergambar kapal berwarna hijau bertuliskan COACH, Clean Ocean Act Collaboration and Harmonize, yang memiliki arti bahwa laut yang bersih dapat diciptakan dengan kolaborasi dan harmonisasi dari seluruh pihak yang terlibat. Adapun semboyan dari Program tersebut adalah Trust, Transparency, Timing.
“Ada tiga hal yang harus kita perhatikan dalam manajemen limbah kapal terpadu ini," kata Kepala Kantor Kesyahbandaran Utama, Capt. Wisnu Handoko pada acara Podcast Syapa, Syahbandar Utama Tanjung Priok Menyapa, dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Senin (23/11).
Pertama adalah Trust, harus ada kepercayaan antara seluruh pihak yang terlibat. Kedua, tranparansi. Harus ada kejujuran, misalnya berapa volume dan jenis sampah aja yang dimiliki. Ketiga, timing. Harus dikoordinasikan dengan baik terkait waktu penurunan sampah antara pemilik kapal dengan pihak pengelola sampah.
Wisnu mengatakan, Program Manajemen Limbah Kapal Terpadu yang digagasnya ini diharapkan dapat memberikan panduan bagi pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan limbah di Pelabuhan, baik dari sisi Pemerintah selaku regulator, Operator Pelabuhan, pihak pengguna jasa Pelabuhan (perusahaan Pelayaran, keagenan kapal, dll), serta pihak perusahaan jasa tranportasi limbah dan penerima limbah.
Program ini, lanjut Wisnu, diharapkan dapat menciptakan keterpaduan dalam menentukan dan melaksanakan strategi pengelolaan limbah kapal antara pemangku kepentingan, serta meningkatkan sinergi dalam pengerahan sumber daya, meliputi SDM, sarana dan prasarana, metode, prosedur, biaya, dan juga tarif.
“Tujuan utamanya tentunya adalah mengurangi dampak pencemaran dari limbah yang berasal dari kapal hingga sampai ke level yang aman bagi Kesehatan manusia dan lingkungan, sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku,” ujar Wisnu.
Ruang Lingkup dari manajemen limbah kapal terpadu ini adalah pengelolaan limbah kapal untuk semua jenis limbah yang berasal dari kapal (Ship Generated Waste) seperti dari pengoperasian permesinan kapal, pemeliharaan kapal, kegiatan domestik kapal (dapur, cucian, kamar mandi), pembersihan muatan dan ruang muat, termasuk limbah sisa muatan (Cargo Residues) yang diangkut kapal yang tidak dapat dibongkar bersama muatan pada saat proses bongkar muat.
“Namun demikian, manajemen limbah kapal terpadu ini tidak termasuk penanganan barang/muatan berbahaya yang merupakan bagian dari muatan yang diangkut oleh kapal, karena untuk muatan telah diatur di dalam IMDG dan manajemen penanganan muatan/barang berbahaya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Wisnu mengunkapkan, Program Manajemen Limbah Kapal Terpadu ini dibuat dan disusun secara bersama-sama oleh Kantor Syahbandar Utama Tanjung Priok, Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok dan PT. Pelindo II, yang permberlakuannya hanya di wilayah Pelabuhan Tanjung Priok.
“Kami memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk mendukung Program Manajemen Limbah Kapal Terpadu ini, dengan menggabungkan dua sistem existing milik Kementerian Perhubungan, yakni Sistem Pelaporan Kapal Inaportnet, dengan Port Waste Management System milik PT. Pelindo 2,” terang Wisnu.
Wisnu menjelaskan, bahwa paling lama satu kali 24 jam atau pada saat melaporkan warta kedatangan kapal (SPM), operator kapal/agent harus sudah mengajukan permohonan rencana penurunan/bongkar limbah dari kapal yang sudah diklasifikasikan menurut jenis dan jumlah limbahnya melalui sistem inaportnet. Sedangkan BUP/pelindo/tersus harus sudah menyediakan tempat, reception facility dan penunjukan transporter.
BUP/ Operator Terminal khusus, lanjutnya dapat mengenakan tarif pananganan limbah sebagai pembiayaan dalam penanganan limbah dan penyadiaan sarana-prasarana pengelolaan limbah seperti personil, sarana prasarana dan administrasi. Tarif yang di tetapkan harus disepakati oleh para pihak dan di ketahui oleh Otoritas Pelabuhan serta di sosialisasikan secara transparan oleh BUP/OT.
“Dalam pengelolaan limbah di Pelabuhan tentunya tidak bisa gratis, karena ada kegiatan yang mengerahkan sumber daya meliputi personil, sarana, prasarana dan administrasi. Untuk itu pihak BUP/OT sebagai pengelola limbah harus mengalokasikan biaya penanganan limbah yang dikenal sebagai Recovery Cost atau Waste Fee yang harus disepakati oleh seluruh pihak. Di sinilah peran Syahbandar selaku regulator untuk memfasilitasi agar semua pihak dapat mencapai kesepakatan,” tukasnya.
Wisnu beranggapan, sebagai salah satu negara yang meratifikasi Konvensi MARPOL 73/78 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal-Kapal melalui Peraturan Presiden No.46 tahun 1986 tanggal 09 September 1986, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia lebih memperhatikan masalah perlindungan lingkungan maritim, dalam hal ini pencemaran dari kapal.
“Sebagai Pelabuhan yang sudah Go Internasional, sudah selayaknya Tanjung Priok tidak semata-mata memikirkan factor ekonomi dalam penyelenggaraan kegiatan kepelabuhanan, namun juga memikirkan masalah perlindungan lingkungan, untuk mewujudkan penyelenggaraan Pelabuhan yang berkelanjutan,” tegasnya.
Wisnu mengungkapkan, saat ini sudah ada 9 (sembilan) Perusahaan yang mendaftarkan Kapalnya untuk mengikuti Program ini. “Kita akan running dengan 9 kapal menjadi pilot project. Apabila berhasil dan berjalan dengan lancar, diharapkan program ini dapat menjadi percontohan dan dapat diterapkan juga oleh Pelabuhan-Pelabuhan lain di Indonesia,” ujarnya.