Jumat 20 Nov 2020 22:40 WIB

Pengawasan Hutan Lemah, KPK: Pasal 3 UUD Dikorupsi

KPK menyebut dari 41 juta hektar lahan di hutan, hanya 1 persen digunakan UMKM

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan penguasaan hutan dan minimnya pemasukan pada negara atas hal itu merupakan kelemahan. Sehingga, pasal 33 UUD 1945, ia sebut seperti telah dikorupsi.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan penguasaan hutan dan minimnya pemasukan pada negara atas hal itu merupakan kelemahan. Sehingga, pasal 33 UUD 1945, ia sebut seperti telah dikorupsi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, penguasaan hutan dan minimnya pemasukan pada negara atas hal itu merupakan kelemahan. Sehingga, pasal 33 UUD 1945, ia sebut seperti telah dikorupsi.

"Penguasaan ratusan juta hektar hutan belum menjadi manfaat bagi bangsa dengan rasa yang adil dan bermartabat," katanya dalam webinar di Jakarta beberapa waktu lalu.

Mengutip kajian perizinan KPK 2013 silam, ia menyebut jika pengelolaan SDA di hutan masih sangat minim. Sehingga rawan dikorupsi."Dari 41 juta hektar yang dikelola, hanya satu persen yang diberikan pada usaha kecil dan masyarakat adat," tambah dia.

Lemahnya pengawasan lahan itu, juga ia sebut membuat kerusakan hutan semakin masif setiap tahunnya. Tak hanya berdampak pada ekonomi nasional, kejahatan itu, ia sebut berdampak pada 87 juta warga yang hidup dan menggantungkan asa pada hutan.

"KPK melakukan analisis terhadap 21 regulasi hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan. Alhasil, 13 di antaranya rentan dikorupsi," tambah dia.

Hal itu menurutnya semakin dipertegas oleh kajian BNPB 2015 silam yang mencatat 77-81 persen laporan produksi kayu, tidak tercatat di KLHK. Akibatnya negara menanggung kerugian sekitar Rp 5,24 triliun hingga Rp 7,24 triliun per tahun selama periode kajian 2003 hingga 2014.

Dia menegaskan, upaya pemberantasan korupsi masih akan menjadi prioritas utama dalam kasus pengawasan hutan. Hingga kini, kata dia, KPK juga masih menangani 27 kasus yang ditangani dan berkekuatan tetap.

Lemahnya pengawasan hutan dan rawannya aktivitas korupsi juga ditekankan oleh Duta Besar Federal Jerman, Peter Scoof. Menurutnya, lembaga U4 Anti-Corruption Resource Center yang diprakarsai pihaknya dan negara lain juga melihat korupsi menjadi masalah dalam perbaikan iklim dan hutan.

Jerman sejauh ini ia klaim konsen terhadap proteksi hutan melalui peningkatan manajemen hutan dan pemerintahan. Sehingga, isu yang ada di hutan Indonesia juga ia klaim menjadi sorotan, terlebih, ketika Indonesia dianggap sebagai lima besar partner Jerman dalam pembangunan dan kehutanan.

"Dan ini juga relevan dengan hutan Indonesia yang berharga bagi dunia untuk menjaga kestabilan dan legalitas hutan," ungkap dia.

Indonesia kata dia, memang mengalami kemajuan dalam menanggulangi deforestasi. Namun, tetap, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

"Forest management masalahnya adalah korupsi. Indonesia harus berjuang dengan permasalahan korupsi ini dengan bantuan KPK dan lembaga lain juga," kata dia.

Dirinya menyebut, sejauh ini U4 juga telah bekerja di hutan Papua untuk membantu kestabilan. Upaya yang mulai di tahun ini itu, ia sebut telah dianggarkan sekitar 3,25 juta Euro.

Namun dirinya tak menampik membutuhkan bantuan dari beberapa pilar yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah ICW. Hal itu dilakukan untuk memperkuat rencana yang terganggu akibat adanya pandemi Covid-19 sejak Maret lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement