REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fergi Nadira, Kamran Dikrama, Dwina Agustin, Antara
Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas meminta Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden untuk memperkuat hubungan antara Palestina dan Washington yang runtuh selama masa jabatan Presiden Donald Trump. Abbas mengatakan hal tersebut dalam pujian selamat kepada Biden dan Wakilnya Kamala Harris.
Selain memperkuat hubungan Palestina-Amerika, Abbas juga meminta pemerintahan AS di bawah Biden untuk memperjuangkan perdamaian, stabilitas, dan keamanan Timur Tengah. Duta Besar Palestina untuk Inggris, Hussam Zomlot juga memuji pemilu bersejarah AS dalam cuitan yang mengutip pernyataan Abbas.
Zomlot mengatakan, bahwa pemilu AS adalah pemilu bersejarah dan menginspirasi. Zomlot adalah utusan Organisasi Pembebasan Palestina untuk Washington hingga 2018, ketika pemerintahan Trump menutup misi diplomatik PLO di ibu kota Amerika.
"Saya merasakan kegembiraan dari mereka yang menginginkan perdamaian yang adil dan abadi di Palestina. Keterlibatan yang didasarkan pada rasa saling menghormati, kebebasan, keadilan, dan kesetaraan harus menjadi jalan ke depan," tulis Zomlot dikutip Time of Israel, Ahad (8/11).
Sementara itu, seorang pejabat senior yang tidak disebutkan namanya di kantor Abbas dikutip oleh harian Israel Hayom mengatakan, Ramallah telah mengirim pesan ke Biden bahwa Palestina bersedia untuk melanjutkan negosiasi perdamaian yang ditengahi AS dengan Israel. Namun, negosiasi hanya dari titik di mana perjanjian perdamaian dihentikan pada 2016 oleh Trump.
Pejabat itu mengatakan, bahwa Abbas akan menuntut agar Biden segera mengembalikan Kedutaan Besar AS dari Yerusalem ke Tel Aviv. Hal ini membalikkan langkah yang dibuat Trump pada 2018, dan membatalkan pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
In Picture: Joe Biden, Presiden Tertua dalam Sejarah Amerika
Penasihat Abbas, Nabil Shaath dikutip oleh laman Israel Hayom mengatakan, PA juga akan menuntut agar AS membuka kembali misi diplomatik Palestina di Washington, yang ditutup Trump. Dia juga mengatakan, harapan untuk memperbarui bantuan Amerika untuk Palestina dan kepada badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) dan turunannya yang disetop Trump.
Shaath menyebut akhir dari kepresidenan Trump adalah sebuah kemenangan. Pemerintahan Trump dinilai telah memberikan dampak buruk bagi rakyat Palestina.
“Bagi kami, ini adalah keuntungan menyingkirkan Trump. Namun, kami tidak mengharapkan perubahan strategis yang penting dalam sikap Amerika terhadap perjuangan Palestina," kata Shaath, saat diwawancara Anadolu Agency pada Ahad (8/11).
Selama masa pemerintahannya, Trump memang telah mengambil sejumlah kebijakan yang sangat merugikan Palestina. Hal itu dimulai pada Desember 2017 ketika dia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. AS menjadi negara pertama di dunia yang melakukan hal tersebut.
Pada Mei 2018, pemerintahan Trump memutuskan memindahkan kedutaan besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Kala itu Palestina telah memutuskan mundur dari perundingan damai dengan Israel yang dimediasi AS. Washington tak lagi dianggap menjadi mediator yang netral karena sangat membela kepentingan politik Israel.
Trump juga memutuskan menghentikan donasi rutin terhadap UNRWA. Langkah itu seketika membuat UNRWA menghadapi krisis keuangan. AS memang menjadi pendonor terbesar bagi lembaga tersebut. Negeri Paman Sam itu rata-rata menyumbang 300 juta dolar AS per tahun.
Di antara warga Palestina yang paling terpukul oleh kebijakan Trump adalah memang dari kalangan pengungsi.
"Kekalahan Trump adalah keuntungan bagi kami, bagi rakyat Palestina, karena dia telah menjual perjuangan Palestina," kata Anwar Abu Amira (38), seorang pengungsi di Kamp Pantai Gaza.
Biden sebelumnya telah menyatakan, dia akan mengembalikan pendanaan ke Tepi Barat dan Gaza yang sebelumnya dihentikan oleh Trump, termasuk bantuan yang diberikan melalui UNRWA. Biden pada masa lalu pun menentang pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat yang diduduki.
Ia juga dan menyuarakan dukungan untuk solusi dua negara dalam konflik Israel-Palestina, sebuah formula yang akan mewujudkan pendirian negara Palestina pada masa depan yang hidup berdampingan dengan Israel.
Namun, dia kemungkinan tidak akan membalikkan keputusan mengenai Yerusalem dan kedutaan. Biden juga telah menyambut pemulihan hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Sudan, bahkan ketika Palestina mengutuk tindakan itu.
Analis politik Gaza, Hani Habib mengatakan, kemenangan Biden akan mendorong Abbas untuk kembali terlibat dalam negosiasi dengan Israel, sebuah langkah yang telah lama diserukan oleh komunitas internasional.
Habib menilai, langkah itu mungkin mempersulit upaya Abbas untuk berdamai dengan saingan utamanya di dalam negeri, gerakan Islam Hamas, meskipun Habib mengatakan Biden tidak akan segera menyentuh masalah itu.
"Dalam hal kebijakan luar negeri, Biden memiliki masalah yang jauh lebih penting dan mendesak daripada konflik Israel-Palestina seperti Iran, NATO, dan aliansi dengan Eropa."