REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Milenial Presiden Joko Widodo (Jokowi), Aminuddin Maruf, meminta mahasiswa ikut terlibat dalam penyusunan aturan turunan Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Amin menyebutkan bahwa dengan ikut serta dalam penyusunan aturan turunan seperti peraturan pemerintah (PP), maka pasal-pasal yang selama ini dianggap menjadi ganjalan dalam UU Cipta Kerja bisa diperbaiki.
"Agar menurut mereka pasal-pasal atau hal-hal yang masih menjadi kekurangan dari undang-undang Cipta kerja ini bisa ditutupi di aturan teknis terkait turunan dari undang-undang Cipta kerja, terima kasih," kata Amin usai menerima perwakilan Dewan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri se-Indonesia (DEMA PTKIN) di Wisma Negara kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (6/11).
Dalam pertemuan hari ini, Amin mengaku mendapat sejumlah masukan dari perwakilan mahasiswa mengenai klaster-klaster yang dianggap bermasalah dalam UU Cipta Kerja. Ia pun menghormati keputusan perwakilan mahasiswa untuk mengajukan uji materi UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"(Klaster yang dianggap bermasalah) yang pertama adalah berkaitan dengan kewenangan pusat dan daerah, dan yang kedua klaster yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup," ujar Amin.
Sementara itu, Koordinator Pusat DEMA PTKIN se-Indonesia Ongki Fachrur Rozie menambahkan bahwa sejak awal penyusunan UU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR tidak banyak melibatkan masukan publik. Hal itu terlihat dari ada sejumlah klaster aturan di dalam UU Cipta Kerja yang dianggap bertentangan dengan kemauan masyarakat.
"Omnibus Law Cipta Kerja ini cacat secara formil dan materiil. UU ini masih perlu adanya beberapa revisi dan uji materi," kata Ongki.
Setidaknya, ada klaster aturan yang menjadi sorotan perwakilan mahasiswa hari ini. Klaster pertama, ujar Ongki, mengenai administrasi pemerintahan di dalam UU Cipta Kerja. Undang-undang sapu jagat tersebut dianggap mensentralisasi kebijakan dan bertentangan dengan UU tentang Otonomi Daerah.
"Harusnya kepala daerah mempunyai hak dan wewenang untuk membuat kebijakan di rumahnya sendiri. Ini malah disentralisasi ke pusat lantas di mana nilai-nilai demokrasi dan ruang publik itu bisa diterima jika semua disentralisasi ke pusat?" ujar Ongki.
Kedua, mengenai penyederhanaan perizinan tanah dalam investasi. Mahasiswa menganggap hal itu bertentangan dengan aspek kelestarian lingkungan karena ada risiko eksploitasi berlebihan.
"Karena yang kita temukan di UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan UU 32 tahun 2009 Pasal 93, yang disebutkan setiap orang mampu melakukan gugatan atas izin perusahaan. Tapi di omnibus law tidak ada ruang ekspresi dan hak-hak bersuara dari pada setiap individu masyarakat," kata Ongki.