REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memastikan akan melawan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum-Kejakgung) Hari Setiyono mengatakan, perlawanan yang akan dilakukan, berupa upaya hukum atas putusan tersebut.
Jaksa Agung, kata Hari, meyakini putusan pengadilan tersebut, bertentangan dengan UU PTUN.
“Bahwa atas putusan PTUN Jakarta tersebut, tim jaksa pengacara negara yang dalam hal ini sebagai kuasa hukum Jaksa Agung sebagai tergugat sangat menghormati putusan tersebut,” kata Hari dalam keterangan persnya, Rabu (4/11).
Akan tetapi, kata Hari, putusan tersebut diyakini tak segaris dengan Pasal 122 dan Pasal 131 UU PTUN 5/1986-51/2009.
Mengacu beleid tersebut, dikatakan, Pasal 122, terhadap putusan PTUN, dapat dimintakan upaya banding. Baik oleh penggugat, maupun tergugat. Sedangkan dalam Pasal 131, dikatakan, pemeriksaan terakhir atas putusan pengadilan, dapat diajukan pemeriksaan sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
“Maka tim jaksa pengacara negara, selaku kuasa hukum Jaksa Agung sebagai tergugat, akan mempelajari putusan tersebut, dan yang pasti akan melakukan upaya hukum,” terang Hari.
Hari tak menerangkan perlawanan, maupun upaya hukum seperti apa yang akan dilakukan Jaksa Agung. Akan tetapi, kata dia, bentuk upaya hukum mengacu perundangan, dapat berupa pemeriksaan ulang putusan pada tingkat banding, bahkan peninjauan kembali (PK).
“Kalau habis PTUN itu, pemeriksaan banding. Kemudian kalau masih belum puas, boleh ajukan pemeriksaan kasasi, bahkan PK,” kata Hari.
Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan tersebut, terkait dengan gugatan ajuan dari keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II 1998. Dalam putusannya, majelis hakim, menolak seluruh eksepsi Kejaksaan Agung (Kejakgung).
“Mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya,” begitu petikan putusan majelis hakim, yang dikutip dari laman resmi PTUN Jakarta, Rabu (4/11). Tiga hakim yang menjadi pengadil dalam perkara ini. Hakim Ketua Andi Muhammad Ali Rahman, dan dua anggota Hakim Umar Dani, dan Hakim Syafaat.
Ada empat amar dalam putusan majelis hakim. Selain mengabulkan gugatan para keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II, majelis juga menyatakan, pernyataan Burhanuddin sebagai perbuatan melanggar hukum.
Dikatakan, Burhanuddin, sebagai representasi dari pemerintah, menyatakan peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang terjadi pada 1998, bukan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Pernyataan tersebut, Burhanuddin sampaikan saat melakukan rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, pada 16 Januari. Dalam rapat kerja itu, pun Burhanuddin menyatakan, Komisi Nasional (Komnas) HAM tak perlu menindaklanjuti peristiwa penembakan para mahasiswa yang terjadi 18 tahun lalu itu. Karena itu, Burhanuddin juga menyampaikan kepada anggota komisi hukum, agar Komnas HAM tak perlu mendesak dibentuknya Pengadilan HAM Adhoc terkait peristiwa tersebut.
“Menyatakan Tindakan Pemerintah berupa Penyampaian Tergugat dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dan Jaksa Agung RI pada tanggal 16 Januari 2020 yang menyampaikan: ‘…Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM’, adalah perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan,” begitu petikan kedua putusan PTUN.
Majelis PTUN juga, dalam putusannya memerintahkan Burhanuddin, selaku Jaksa Agung membuat pernyatan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya kepada Komisi III dalam rapat kerja selanjutnya. “Sepanjang belum ada keputusan yang menyatakan sebaliknya,” kata hakim dalam putusannya. Hakim PTUN, pun menghukum Burhanuddin, membayar biaya perkara senilai RP 285 ribu.