Rabu 04 Nov 2020 19:04 WIB

UII: UU Cipta Kerja Harus Dinyatakan Batal demi Hukum

UU Cipta Kerja masih mengandung beberapa persoalan serius.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
ilustrasi ruu ciptaker
Foto: Republika/Prayogi
ilustrasi ruu ciptaker

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Presiden Joko Widodo resmi mengesahkan RUU Cipta Kerja jadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, Pusat Studi Hukum Konstitusi FH Universitas Islam Indonesia (UII) mencatat, UU itu masih mengandung beberapa persoalan serius.

Direktur PSHK FH UII, Allan Fatchan Gani Wardhana mengatakan, UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan. Ini karena UU itu mengandung beberapa ketidaksinkronan materi muatan antara pasal per pasal.

Allan mencontohkan, dalam pasal-pasal yang terlihat jelas seperti Pasal 6 UU Cipta Kerja yang menyatakan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana Pasal 5 ayat (1) huruf a. Meliputi penerapan perizinan berusaha berbasis risiko. Lalu, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, penyederhana perizinan berusaha sektor, dan penyederhanaan persyaratan investasi. 

Padahal, UU Cipta Kerja sama sekali tida memuat adanya Pasal 5 ayat (1) huruf a. "UU Cipta Kerja hanya memuat Pasal 5 yang menyatakan ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait," kata Allan, Rabu (4/11).

Adanya ketidaksinkronan menyebabkan penerapan perizinan berusaha berbasis risiko, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, penyederhanaan perizinan berusaha sektor dan penyederhanaan persyaratan investasi yang jadi norma jantung, tidak memenuhi asas ketertiban dan kepastian hukum.

Lalu, tidak memenuhi asas kejelasan rumusan yang menyatakan setiap materi muatan UU harus penuhi syarat teknis penyusunan UU dan bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti. Sehingga, tidak menimbulkan berbagai intepretasi dalam pelaksanaan.

"Adanya perbedaan halaman juga mengindikasikan draft RUU Cipta Kerja yang disahkan dan diundangkan, bukan draft RUU Cipta Kerja yang diserahkan ke Presiden, sehingga dimungkinkan perbaikan atau penambahan terhadap draft RUU Cipta Kerja tersebut," kata Allan.

Padahal, Pasal 72 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan kesempatan perbaikan draft RUU hanya bisa dilakukan paling lama tujuh hari usai persetujuan bersama Presiden dengan DPR sebelum diserahkan ke Presiden.

Perbaikan itupun hanya berkaitan dengan teknis penulisan RUU ke Lembaran Resmi Presiden sampai penandatanganan pengesahan UU oleh Presiden dan penandatanganan. Sekaligus, Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia. Jadi, bukan perubahan substansi baik mengganti pasal, ayat, huruf, kata, frasa, maupun kalimat.

Karenanya PSHK FH UII menyatakan, UU Cipta Kerja mengandung masalah serius. Sehingga, proses pengujian formil UU Cipta Kerja ke MK harus dikawal. "UU Cipta Kerja harus dinyatakan batal demi hukum," ujar Allan.

Pertimbangannya, pertama sejak disahkan draft UU muncul banyak versi dan sulit diakses publik. Kedua, banyak terjadi perubahan susbtansi saat UU sudah disahkan, padahal setiap UU yang sudah disahkan tidak dimungkinkan ada perubahan substansi.

Ketiga, pembuatan UU ini minim partisipasi publik, padahal setiap pembentukan UU harus melibatkan partisipasi publik. Keempat, pasal dalam UU Cipta Kerja banyak yang tidak sinkron, bertentangan asas kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement