REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengusulkan materi tindak pidana pencucian uang (TPPU) masuk dalam kurikulum di universitas. Secara khusus, Dian berharap materi TPPU ini masuk dalam penyusunan silabus mata kuliah tindak pidana ekonomi.
"Salah satu konsennya dan kita rumuskan bagaimana PPATK membantu untuk bisa memasukan TPPU menjadi kurikulum termasuk penyusunan silabus dalam tindak pidana ekonomi," ujar Dian dalam web seminar sosialisasi PPATK di Universitas Jember secara virtual, Rabu (4/11).
Ia menilai, upaya mengenalkan TPPU sejak dunia kampus sangat penting. Hal ini lantaran, hampir semua penegak hukum, lulusan fakultas hukum dari berbagai kampus di Indonesia.
Menurutnya, pengenalan TPPU dari sisi akademisi sangat penting sebagai upaya sistematis perubahan pandangan TPPU dari hulu ke hilir. "Sangat penting karena kalau upaya sistematis nggak dilakukan, hulu hilir, perubahan sikap terhadap TPPU belum menggembirakan," katanya.
Sebab, ia tidak memungkiri paradigma penegak hukum di Indonesia belum melihat TPPU sebagai isu utama. Tidak Sedikit, kata Dian, penegak hukum yang hanya fokus pada tindak pidana asalnya semata
"Karena kita lihat data tadi menunjukan hampir semua aparat penegak hukum yang notabene dari lulusan fakultas hukum dari berbagai universitas di Indonesia masih belum bisa menganggap persiapan TPPU isu utama dari tindak pidana ekonomi," ujarnya.
Sebelumnya, Dian mengeluhkan masih sedikitnya laporan analisis maupun pemeriksaan keuangan PPATK yang ditindaklanjuti oleh penegak hukum menjadi tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dian mengatakan, berdasarkan data PPATK sejak 2014-2020 tidak lebih dari 40 persen rekomendasi atau pemeriksaan analisis keuangan yang ditindaklanjuti menjadi TPPU.
"Tindaklanjut oleh temen aparat penegak hukum ini masih sangat jauh, kalau data kita dari 2014-2020 itu hanya, nggak lebih dari 40 persen. Kalau rata ratanya lebih rendah lagi, tapi paling tinggi itu sekitar 36 persen, paling rendah itu dua persen," ujar Dian.
"Jadi bisa dibayangkan kalau kita liat analisis pemeriksaan PPATK dan tindaklanjut penegak hukum itu masih sangat senjang," ujar Dian lagi.
Dian mengatakan, kasus TPPU di Indonesia memang cenderung belum bisa ditindaklanjuti oleh penegak hukum secara optimal. Hal itu, kata Dian, ditengarai karena paradigma berpikir penegak hukum terhadap kejahatan bermotif ekonomi masih konvensional yakni hanya berfokus pada tindak pidana asal saja.
Padahal jika dikaitkan ruang lingkup PPATK, ada 26 jenis tindak pidana ekonomi yang bisa ditindaklanjuti dengan TPPU.
"Jadi memang tindak pidana asal itu sangat banyak dan memang bisa dikatakan berdasarkan data, kita melihat, masih belum menjadi concern aparat penegak secara umumnya," ujarnya.
Padahal kata Dian, penuntasan tindak pidana ekonomi diikuti TPPU dinilai efektif untuk memberi efek jera. Menurutnya, bahkan negara maju sekalipun belum mampu menyelesaikan persoalan terkait tindak pidana ekonomi ini tanpa diikuti dengan TPPU.
"Selama itu kesenjangan tindak pidana asal dan TPPU masih belum match, di seluruh dunia itu masih sulit untuk memberantas tindak pidana ekonomi," ungkapnya.