Rabu 04 Nov 2020 01:29 WIB

PSHK FH UII Sebut UU Cipta Ketja Mengandung Persoalan Serius

PSHK FH UII nilai UU Cipta Kerja mengandung persoalan serius.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Pengesahan UU Cipta Kerja (ilustrasi)
Foto: republika
Pengesahan UU Cipta Kerja (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menilai Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) masih mengandung beberapa persoalan serius dari segi perundang-undangan.

"UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan. Hal ini karena UU Cipta Kerja mengandung beberapa ketidaksinkronan materi muatan antara pasal per pasal maupun di dalam Pasal," kata Direktur PSHK FH UII, Allan Fatchan Gani Wardhana kepada Republika.co.id, Selasa (3/11). 

Baca Juga

Allan mengungkapkan, ketidaksinkronan terlihat jelas dalam ketentuan Pasal 6 UU Cipta Kerja yang menyatakan  bahwa, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi; Penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; Penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; Penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan Penyederhanaan persyaratan investasi.  Padahal, UU Cipta Kerja sama sekali tidak memuat adanya Pasal 5 ayat (1) huruf a. 

"UU Cipta Kerja hanya memuat adanya Pasal 5 yang menyatakan ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait," jelas Allan.

Adanya ketidaksinkronan tersebut menyebabkan tindakan (1) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (2) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (3) penyederhanaan perizinan berusaha sektor;dan (4) penyederhanaan persyaratan investasi yang menjadi norma jantung karena menjadi landasan dilakukannya perubahan dalam beberapa undang-undang lain dalam UU Cipta Kerja menjadi tidak memiliki dasar hukum. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Kemuadian, dalam ketentuan Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 53 sepanjang ayat (5) UU 30 Tahun 2014 (UU Administrasi Pemerintahan) yang menyatakan bahwa, ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Padahal, pengaturan terkait keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum akibat dari asas fiktif positif tersebut tidak diatur dalam ayat (3), namun diatur dalam ayat (4) yang menyatakan apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum. 

"Adanya ketidaksinkronan materi muatan tersebut menyebabkan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas ketertiban dan kepastian hukum yang menyatakan bahwa setiap materi muatan undang-undang harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum," ujar Allan.

Tak hanya itu, UU Cipta kerja pun tak memenuhi asas kejelasan rumusan yang menyatakan bahwa setiap materi muatan undang-undang harus memenuhi syarat teknis penyusunan undang-undang serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam intepretasi dalam pelaksanaannya. 

PSHK FH UII juga menyoroti bahwa UU Cipta Kerja melanggar ketentuan Pasal 72 dan 73 UU 12 Tahun 2011 Draft RUU Cipta Kerja yang disahkan dan diundangkan berjumlah 1187 halaman. Hal itu berbeda dengan draft RUU Cipta Kerja yang diserahkan ke Presiden yakni berjumlah 812 halaman. 

"Adanya perbedaan halaman ini mengindikasikan bahwa Draft RUU Cipta Kerja yang disahkan dan diundangkan bukan draft RUU Cipta Kerja yang diserahkan kepada Presiden sehingga dimungkinkan adanya perbaikan/penambahan terhadap draft RUU Cipta Kerja tersebut, " kata Allan.

Padahal, Pasal 72 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa kesempatan perbaikan terhadap Draft RUU hanya bisa dilakukan paling lama 7 hari pasca dilakukannya persetujuan bersama antara Presiden dengan DPR sebelum diserahkan ke Presiden.

Perbaikan itupun hanya yang berkaitan dengan teknis penulisan RUU ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan UU oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia.

"Dan bukan perubahan substansi, baik mengganti pasal, ayat, huruf, kata, frasa, maupun kalimat, " tegas Allan. 

Oleh karenany, PSHK FH UII menyatakan bahwa UU Cipta Kerja mengandung problem serius sehingga proses pengujian formil UU Cipta Kerja ke MK harus dikawal. UU Cipta Kerja juga harus dinyatakan “batal Demi Hukum” dengan pertimbangan sejak disahkan, draft UU muncul banyak versi dan sulit diakses oleh publik.

"Banyak terjadi perubahan susbtansi ketika UU sudah disahkan, padahal setiap UU yang sudah disahkan tidak dimungkinkan lagi adanya perubahan substansi," ucap Allan. 

Pembuatan UU ini pun minim partisipasi publik, padahal setiap pembentukan UU harus melibatkan partisipasi publik. "Kita ketahui berbagai pasal dalam UU Ciptaker banyak yang tidak sinkron sehingga bertentangan asas kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan, " ujar Allan. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement