Selasa 03 Nov 2020 13:25 WIB

KSPI Sudah Ajukan Uji Materi UU Ciptaker ke MK

Pengajuan gugatan dilakukan pada Selasa (3/11) pagi. 

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan gugatan dilakukan pada Selasa (3/11) pagi. 

"Pendaftaran gugatan judicial review UU Nomor 11/2020 tentang Ciptaker sudah resmi tadi pagi didaftarkan ke MK di bagian penerimaan berkas perkara," ujar Presiden KSPI, Said Iqbal, lewat pesan singkat, Selasa (3/11). 

Baca Juga

Pengajuan uji materi UU Ciptaker itu teregistrasi di laman resmi MK dengan nomor tanda teroma 2045/PAN.MK/XI/2020 dengan pokok perkara pengujian materiil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker terhadap UU Dasar 1945. Pemohon dalam gugatan ini ialah Said Iqbal dan Ramidi selaku sekretaris jenderal KSPI. 

Said juga menyatakan, KSPI tidak hanya mengajukan uji materi ke MK, tapi juga melakukan strategi konstitusional lainnya. Menurut Said, pihaknya akan melanjutkan aksi dengan prinsip antikekerasan, legislative review, dan kampanye ke masyarakat tentang pasal UU Ciptaker yang merugikan buruh dan rakyat. 

“Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut, khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh,” kata Said. 

Menurut kajian dan analisa yang dilakukan KSPI secara cepat setelah menerima salinan UU No 11 Tahun 2020, khususnya pada klaster ketenagakerjaan, ditemukan banyak pasal yang merugikan kaum buruh. Beberapa pasal tersebut antara lain berlakunya kembali sistem upah murah. 

Dia menerangkan, itu terlihat dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dengan syarat tertentu. 

Menurut dia, penggunaan frasa “dapat” dalam penetapan UMK sangat merugikan buruh karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal itu ia sebut akan mengakibatkan upah murah. 

"Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat sebesar 1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar 4,2 juta. JIka hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun," jelas dia. 

Dengan kata lain, kata dia, berlakunya UU Ciptaker mengembalikan kepada rezim upah murah. Itu ia nilai sebagai hal yang sangat kontradiktif, apalagi Indonesia sudah lebih dari 75 tahun merdeka. Ditambah juga dengan dihilangkankanya upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003. 

Dihilangkannya UMSK dan UMSP ia lihat sangat jelas sekali menyebabkan ketidakadilan. Bagaimana mungkin sektor industri otomotif atau sektor pertambangan nilai upah minimumnya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk.bItulah sebabnya, di seluruh dunia ada upah minimum sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara. 

"Karena itu KSPI meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dhilangkan. Jika ini terjadi, maka akan berakibat tidak ada income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah," terang dia. 

Selain itu, ada juga persoalan terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup. Dia menerangkan, UU Ciptaker menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003. 

Akibatnya, kata dia, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT atau karyawan kontrak. Dengan begitu, PKWT ia sebut bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap. Itu berarti, tidak ada kepastian bekerja bagi karyawan kontrak. 

"Padahal dalam UU No 13 Tahun 2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya dibatasi maksimal lima tahun dan maksimal tiga periode kontrak," jelas dia.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement