REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, menjalani sidang perdana kasus suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA dengan agenda pembacaan dakwaan secara virtual pada Kamis (22/10). Terdakwa Nurhadi memilih tidak akan menyampaikan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Sudah jelas saya mengerti yang disampaikan dakwan kesatu pertama dan dakwaan kedua. Jelas dan sekaligus yang mulia saya sampaikan saya tidak menyampaikan eksepsi saya mohon keadilan yang seadil-adilnya. Semua tidak benar akan saya buktikan," kata Nurhadi usai mendengarkan dakwaannya di Rutan C1 KPK, Kamis (22/10).
Nurhadi dan menantunya didakwa menerima suap Rp45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto. Tak hanya suap, keduanya juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp37.287.000.000 dari sejumlah pihak yang berperkara di lingkungan Pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali.
"Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, menerima hadiah atau janji," kata Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Yunarwanto saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (22/10).
Dalam dakwaan pertama terkait perbuatan suap, Jaksa berkeyakinan suap diberikan Hiendra agar Nurhadi dan Rezky Herbiyono membantu dalam memuluskan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (PT KBN) terkait gugatan perjanjian sewa menyewa depo kontainer milik PT KBN seluas 57.330 meterbpersegi dan seluas 26.800 meter persegi yang terletak di wilayah KBN Marunda kavling 03-43 Kelurahan Marunda Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Serta gugatan antara Hiendra Soenjoto melawan Azhar Umar.
Jaksa menguraikan terkait perkara PT MIT dengan PT KBN yakni dimulai ketika pada 27 Agustus 2010 Hiendra Soenjoto melalui kuasanya yaitu Mahdi Yasin dan rekan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang didasarkan pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa menyewa depo container milik PT KBN. Dalam putusan tersebut dimenangkan PT MIT dan PT KBN harus membayar ganti rugi materiil kepada PT MIT sebesar Rp81.778.334.544,00.
PT KBN kemudian mengajukan banding. Namun bandingnya ditolak, hingga akhirnya PT KBN mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 29 Agustus 2013, Mahkamah Agung RI dalam putusannya Nomor 2570 K/Pdt/2012 menyatakan dalam pokok perkara bahwa pemutusan perjanjian sewa menyewa depo container melalui surat nomor 0106/SBA/DRT.12.3I07/2010 tanggal 30 Juli 2010 adalah sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi sebesar Rp6.805.741.317.00 secara tunai dan seketika kepada PT KBN.
Tak terima, PT MIT kemudian mengajukan Peninjauan Kembali. Hiendra yang mengenal Rahmat Santoso yang berprofesi sebagai advokat sekaligus adik ipar Nurhadi kemudian menunjuknya sebagai kuasa hukum PT MIT untuk mengajukan PK tersebut.
Namun setelah gugatan didaftarkan, Hiendra mencabut kewenangan Rahmat sebagai kuasa hukumnya itu. Hingga akhirnya, Hiendra malah meminta Riezky untuk mengurus perkaranya. Padahal Riezky tidak berprofesi sebagai advokat.
"Atas permohonan Hiendra Soenjoto kemudian Terdakwa 1 (Nurhadi) dalam jabatannya selaku Sekretaris Mahkamah Agung RI yang mempunyai kewenangan diantaranya melakukan pembinaan dan pelaksanaan tugas di lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan, bersama Terdakwa ll (Rezky) mengupayakan pengurusan permasalahan hukum sebagaimana dimaksud," ujar Jaksa.
Atas perbuatannya, Nurhadi dan Rezky didakwa melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara untuk dakwaan kedua, Jaksa meyakini kedua terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, menerima gratifikasi.
Jaksa Wawan menjelaskan, Nurhadi memerintahkan Rezky Herbiyono untuk menerima uang atau hadiah dari sejumlah pihak sejak 2014 hingga 2017.
Adapun, uang yang diterima Nurhadi melalui Reza berasal dari sejumlah pihak yang berperkara diantaranya, Handoko Sutjitro, Renny Susetyo Wardhani. Kemudian, Donny Gunawan, Fredy Setiawan, Riadi Waluyo, Calvin Pratama, Soepriyo Waskito Adi, Yoga Dwi Hartiar, dan H Rahmat Santoso. Seluruhnya, kata Jaksa, uang yang diterima Nurhadi dan Rezky berjumlah Rp37 miliar.
"Terhadap penerimaan gratifikasi berupa sejumlah uang tersebut diatas, terdakwa tidak melaporkannya kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari sebagaimana ditentukan undang-undang, padahal penerimaan itu tanpa alas hak yang sah menurut hukum," ucap Jaksa.
Menurut Jaksa Wawan, penerimaan uang oleh Nurhadi melalui Rezky haruslah dianggap suap. Sebab, berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya sebagai Sekretaris di MA.
Kendati demikian, saat ini keduanya didakwa melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.