REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Dessy Suciati Saputri
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak hanya penuh kekhawatiran akan pelanggaran protokol kesehatan. Pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada juga banyak terjadi. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta penyelenggara bersikap netral dan menindak tegas setiap pelanggaran.
"Saya kira di samping itu adalah komitmen dari rekan-rekan jajaran KPU dan Bawaslu serta pengawasan yang ketat," ujar Tito dalam webinar nasional Pilkada Berintegritas 2020, Selasa (20/10).
Ia berharap KPU dan Bawaslu dapat berfungsi sebagai wasit saat pelaksanaan pilkada serentak di 270 daerah bersikap netral. Termasuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus bertindak tegas kepada jajaran penyelenggara yang juga berpotensi melanggar aturan.
Menurut Tito, jika penyelenggara netral, maka semua pihak akan menghormatinya. Akan tetapi, apabila penyelenggara justru melakukan pelanggaran seperti terlibat politik transaksional, maka timbul konflik karena peserta pilkada tidak percaya kepada mereka.
Di sisi lain, ia mengaku sudah menerbitkan surat edaran kepada kepala daerah untuk tidak melakukan mutasi pejabat enam bulan sebelum penetapan paslon, kecuali atas persetujuan tertulis darinya. Hanya tiga kondisi yang dikecualikan, yaitu, jabatan kosong sehingga tidak ada pejabat yang memimpin, pejabat dalam proses hukum atau ditahan oleh aparat penegak hukum, dan pejabat meninggal dunia.
Namun, kata Tito, pelanggaran terkait mutasi pejabat masih tetap dilakukan oleh kepala daerah yang maju kembali dalam pilkada. Hingga akhirnya ditangani Bawaslu sampai terbit rekomendasi sanksi kepada KPU untuk mendiskualifikasi pasangan calon yang bersangkutan.
“Kemarin ada yang melakukan sehingga akhirnya diskualifikasi, yaitu Kabupaten Ogan Ilir, ada dugaan demikian, sehingga temuan Bawaslu kemudian di-followup oleh KPU," kata Tito.
Selain kepada penyelenggara, Tito pun mengingatkan aparat kepolisian untuk menindak tegas pelanggar protokol kesehatan dalam kegiatan pilkada. Menurutnya, ada banyak peraturan yang bisa digunakan, mulai dari Undang-Undang (UU) Karantina Kesehatan, sampai UU Wabah Penyakit Menular.
Menurutnya, dalam 25 hari masa kampanye, pelaksanaan kampanye relatif aman dari potensi konflik. Akan tetapi, ada sejumlah konflik yang memanas seperti di Donpu (Nusa Tenggara Barat), Nusa Tenggara Timur, Banggai (Sulawesi Tengah), meskipun pada akhirnya dapat dikendalikan.
Ide kreatif dalam berkampanye juga didorong Tito terus dilakukan. Ia menilai pemanfaatan hand sanitizer atau cairan penyanitasi tangan dan masker sebagai bahan kampanye lebih efektif dibandingkan baliho. Alat pelindung diri dalam mencegah penularan Covid-19 itu dapat ditempeli gambar atau nomor urut pasangan calon (paslon).
"Masker lebih efektif daripada baliho, baliho itu statis, yang nonton orangnya lewat-lewat itu saja. Tapi kalau masker bisa masuk sampai ke gang-gang, ke pasar, tempat ibadah. Orang ngobrol pasti melihat muka. Sebetulnya yang pakai masker pasangan calon dia menjadi ajang promosi," ujar Tito.
Ia melanjutkan, berdasarkan catatan dari Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 yang disampaikan saat rapat di Istana Presiden kemarin, beberapa daerah yang menggelar pilkada cendurung menunjukkan penurunan grafik penularan. Misalnya, daerah yang semula berstatus zona merah menjadi zona oranye/kuning, semula zona oranye menjadi zona kuning, dan zona kuning bergerak menjadi zona hijau.
"Nah ini artinya apa? Artinya Pilkada yang tadinya diperkirakan, dikhawatirkan akan menjadi media penularan, ternyata (tidak terjadi)," kata Tito.
Menurut dia, pilkada dan penularan Covid-19 tidak memiliki korelasi langsung. Sepanjang protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dilakukan secara ketat dan pengawasan tegas oleh aparat penegak hukum di daerah.
"Kalau ada sampai yang keterlaluan massanya besar, kemudian seperti rapat umum, bila perlu dari Polri yang bertindak dengan menerapkan Undang-Undang, bukan Undang-Undang Pemilu, Pilkada, tapi Undang-Undang yang berlaku lainnya, misalnya (UU tentang) Wabah Penyakit Menular," tutur Tito.
Sementara itu, menurut Anggota Komisi II DPR RI Endro S Yahman, Bawaslu perlu bekerja ekstra dalam melakukan pengawasan, karena pilkada digelar dalam kondisi pandemi. Menurutnya, pilkada kali ini sangat rawan terjadi politik uang karena masyarakat mengalami kesulitan ekonomi.
"Bawaslu juga punya tanggung jawab terhadap peningkatan partisipasi pemilih sebagai salah satu indikator kualitas demokrasi," kata Endro.
Ia juga menilai, KPU kurang inovatif dalam melakukan sosialisasi, bahkan mereka masih bekerja dengan pola normal dalam meningkatkan partisipasi pemilih. Padahal, pilkada saat pandemi Covid-19 mengalami banyak pembatasan secara fisik demi mencegah penyebaran Covid-19.
"Sedangkan dalam menggalang pemilih juga masih gagap dalam menyesuaikan dengan peraturan kampanye menggunakan protokol Covid-19," kata politikus PDI Perjuangan itu.
KPU mendorong peserta dan pemilih mewujudkan pilkada yang berintegritas. Akan tetapi, KPU juga menghadapi sejumlah tantangan integritas dalam pelaksanaan Pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi ini, salah satunya kepatuhan terhadap protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Pelaksana harian Ketua KPU RI, Ilham Saputra, mengatakan KPU daerah harus terus mendorong peserta pemilihan untuk taat pada protokol kesehatan dan memberikan sanksi yang sesuai kepada pelanggarnya. KPU ditantang terus menginformasikan hal-hal baru yang perlu diketahui oleh peserta pilkada terkait penyesuaian protokol kesehatan pada setiap kegiatan pilkada untuk mencegah pelanggaran.
Terutama tahapan kampanye yang berlangsung saat ini, beserta sanksi bagi mereka yang melanggar. KPU akan berkoordinasi dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk mengenakan sanksi pembubaran, tidak diperbolehkan kampanye selama tiga hari, bahkan melaporkan yang bersangkutan kepada kepolisian.
Ilham melanjutkan, jajaran KPU harus mampu merespons dengan baik dan tepat terhadap kecemasan dan ketidakpercayaan masyarakat tentang pelaksanaan pilkada dalam masa pandemi. Sehingga KPU dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk memilih demgan tetap mengedepankan pentingnya menerapkan protokol kesehatan.
Untuk itu, KPU RI telah menggelar simulasi pemungutan suara dengan protokol kesehatan di sejumlah daerah sebanyak empat kali. Menurut Ilham, KPU akan menerapkan protokol kesehatan yang ketat pada hari pemungutan suara 9 Desember 2020 mendatang.
KPU akan menerapkan jaga jarak antarorang di tempat pemungutan suara (TPS). Seluruh petugas akan dibekali dengan alat pelindung diri, TPS disemprot disinfektan secara berkala, sarana cuci tangan disediakan di pintu masuk dan keluar TPS, dan pemilih juga diberikan sarung tangan plastik sekali pakai.
"Teman-teman disabilitas tunanetra tetap bisa membaca huruf braille ketika mereka menggunakan sarung tangan," kata Ilham.
Selain itu, petugas TPS harus seminimal mungkin berinteraksi fisik dengan pemilih. Sebelum masuk TPS, para pemilih akan dicek suhu tubuhnya dan dipastikan tidak melebihi 37,3 derajat celsius.
Bagi pemilih yang bersuhu tubuh lebih dari 37,3 derajat celsius, KPU akan mengarahkannya ke bilik suara khusus yang tidak berdekatan dengan bilik suara umum. Petugas yang menangani pun harus mengenakan pakaian hazmat dan APD lengkap.
Ketua Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid 19 Doni Monardo mengatakan, penyelenggaraan pilkada serentak 2020 di tengah pandemi tak akan menjadi klaster baru. Pernyataannya dilanjutkan, jika masyarakat mematuhi protokol kesehatan dengan ketat.
“Ada 14 provinsi yang ada kegiatan pilkada namun tanpa zona merah ... Masalahnya bukan ada atau tidak ada pilkada. Masalah lebih kepada kepatuhan terhadap disiplin menggunakan masker, jaga jarak, dan menghindari kerumunan serta mencuci tangan,” ujar Doni saat konferensi pers usai rapat terbatas, Senin (12/10).
Karena itu, ia meminta masyarakat agar patuh menerapkan protokol kesehatan. Yaitu mengenakan masker, mencuci tangan menggunakan sabun, maupun menjaga jarak.