REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenaga Ahli Utama Bidang Hukum Kantor Staf Presiden (KSP), Ade Irfan Pulungan tak menyangkal kesan publik yang menilai pembentukan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) terburu-buru. Menurutnya, makin cepat undang-undang itu dirumuskan dan disahkan, ketentuannya dapat segera diberlakukan dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
"Memang terkesan di publik yang kita tangkap ya ini terlalu terburu-buru, tuh itu kan memang enggak bisa kita pungkiri memang kesannya begitu," ujar Irfan dalam diskusi daring, Sabtu (17/10).
Irfan mengatakan, UU Ciptaker bertujuan menciptakan atau mendorong lapangan pekerjaan yang cukup besar. Setiap tahunnya potensi pengangguran di Tanah Air sangat besar, ada 2,9 juta penduduk usia pencari kerja per tahun.
Selain itu, kata Irfan, UU Ciptaker dapat memudahkan siapapun mendapatkan izin usaha dan mempercepat investasi. Kemudian, UU Ciptaker menyinkronkan ketentuan dalam setiap undang-undang yang berkaitan dengan cipta kerja ini.
Irfan menyebutkan, selama ini pun, peraturan turunan undang-undang, seperti peraturan menteri maupun peraturan daerah berbeda dengan ketentuan dalam undang-undangnya. Ada yang dilarang di uu, tetapi diperbolehkan di aturan turunan, begitu juga sebaliknya.
Namun, tutur Irfan, pihaknya agak kesulitan menjelaskan kepada publik terkait UU Ciptaker ini. Sebab, menurutnya, publik lebih percaya informasi di media sosial (medsos).
"Kita lebih percaya pada dunia medsos yang beredar di media sosial. Makanya banyak informasi yang kita didapatkan di dunia medsos ini tentang hal-hal negatif, apalagi di kluster ketenagakerjaan, katanya pesangon tidak ada lagi, mengenai cuti, dan segalanya," kata Irfan.
Namun, dalam kesempatan ini, Irfan membantah informasi tersebut. Bahkan, ia menyebut informasi tergolong hoaks. "Jadi saya yakin dan percaya pemerintah tidak ingin bertentangan dengan aspirasi publik secara keseluruhan walaupun belum dapat memuaskan keinginannya. Perdebatan yang ada di medsos yang bisa dikategorikan hoaks itu," ucapnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti mengatakan, publik sudah mengikuti proses pembentukan rancangan UU (RUU) Ciptaker sejak awal. Hal ini ia sampaikan untuk membantah anggapan publik tidak mengikuti proses penyusunan UU Ciptaker.
Namun, Bivitri justru mengungkap ketidakterbukaan proses pembahasan RUU Ciptaker. Ia menjadi saksi ahli untuk gugatan masyarakat sipil di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas proses penyusunan UU Ciptaker.
"Dari penyusunan itu sudah sangat tertutup, bahkan di pengadilan kami sudah sampaikan semua bukti, bahwa kami minta draf resmi, bukan cuma di media sosial, ada surat resmi juga jawaban bahwa tidak diberikan sampai dengan proses pembahasan," kata Bivitri.
Ia menyebutkan, proses pembahasan dimulai sejak surat presiden masuk ke DPR pada 12 Februari. Ia mengatakan, DPR mengeklaim, pembahasan RUU Ciptaker dari 12 Februari hingga rapat paripurna pengesahan UU Ciptaker pada 5 Oktober sudah dilakukan 64 kali pertemuan.
"Tapi kita jangan lupa ini magnitudenya 812 halaman, apakah cukup dengan 64 kali pertemuan, dengan catatan bahwa satu, stake holdersnya bukan hanya buruh, ini kita berbicara soal 79 undang-undang lain yang diatur dalam satu undang-undang," jelas Bivitri.