Selasa 13 Oct 2020 16:14 WIB

Keabsahan Omnibus Law Ciptaker: Halal Bukan Sekadar Label!

Bagi Muslim halal bukan pilihan tetapi keharusan.

Omnibus Law Ciptaker: Logo halal bukan sekadar label.
Foto:

Pelaksanaan sertifikasi : LPH, BPJPH dan MUI

Pasal 31 UU Omnibuslaw mengubah durasi audit dan atau pengujian kehalalan produk dari 30 hari, menjadi 15 hari kerja. Selanjutnya perubahan pada pasal 32 adalah  laporan audit dari LPH yang awalnya ke BPJPH, langsung diserahkan ke MUI dengan tembusan ke  BPJPH.

Masalahnya kemudian perubahan itu meminta, jika hasil pemeriksaan  dan atau pengujian kehalalan produk tidak sesuai dengan standar yang dimiliki BPJPH maka Lembaga ini dapat memberikan pertimbangan kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa. Pasal 33 menegaskan kembali bahwa sidang fatwa harus dilakukan paling lama 3 hari kerja menggantikan 30 hari sejak MUI mendapatkan laporan hasil pemeriksaan LPH.

Pasal 32 ini menunjukkan bahwa pembuat UU Omnibuslaw tidak mengerti esensi dari kewenangan BPJPH dan MUI. Fatwa halal dan keputusan halal dilakukan oleh MUI berdasarkan fakta yang  didapat dari proses audit. Apa dasar kompetensinya jika BPJPH memberikan pertimbangan kehalalan kepada MUI? Aturan ini sangat mengacaukan logika berfikir,selain tidak memahami dari esensi yang dituliskan.

Hal penting lain yang perlu menjadi perhatian terkait dengan esensi aturan halal adalah, standar halal yang dikeluarkan oleh BPJPH harus bertumpu pada fatwa halal sebagai acuan normatif. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan  pelaksanaan pemeriksaan halal dilapang tetap bersandar pada ketetapan ulama yang telah ada, dan menjadi bagian dari jaminan kehalalan pada konsumen Muslim.

Pasal 33 membatasi waktu kerja sidang fatwa dari 30 hari menjadi 3 hari. Berdasarkan apa ketentuan waktu fatwa  ini ditetapkan, apakah ada naskah akademik yang melandasinya. Berdasarkan pengalaman penulis, untuk hal yang tidak ada kasus khusus ,kehalalan sidang fatwa tidak butuh 3 hari, 1 hari pun cukup. Namun untuk kasus baru terkait perkembangan teknologi, seperti pewarna dari serangga (chocineal), ketetapan kandungan etanol pada produk, ketetapan  metode stunning  perlu data yang cukup  dan valid untuk memutuskan status hukum halalnya. Jadi keputusan fatwa halal itu bukan keputusan ekonomis semata!

Demikian pula pada pasal 35 A, menunjukkan penyusun UU Omnibuslaw ini hanya menilai ketidaktepatan waktu dalam proses sertifikasi hanya disebabkan dari sisi LPH sementara terjadinya hambatan tersebut bisa juga berasal dari lambatnya respon pelaku usaha. Sehingga sanksi yang diterapkan hanya kepada LPH ketika terjadi perlambatan tidaklah adil.

Pelaku usaha tidak perlu diverifikasi ulang jika mereka sudah membuat pernyataan diri terkait dengan pemenuhan proses halal, tidak mengubah komposisi maka BPJPH dapat langsung mengeluarkan SH demikian bunyi pasal 42  ayat 3 terkait dengan pembaharuan Sertifikat Halal (SH). Aturan yang tercantum pada ayat  tambahan perubahan ini jelas tidak sesuai dengan aturan Internasional, terkait dengan penilaian kesesuaian, plus  inkonsistensi dengan menafikkan penetapan izin usaha  berbasis resiko yang terdapat pada  pendahuluan UU ini. Karena pada akhirnya sertifikat halal pada skala usaha dan tingkat risiko apa pun dapat diterbitkan dengan pernyataan diri.

Sanksi Pelanggaran

Pada pasal 56 UU omnibus law menyebutkan sanksi pidana penjara dan sejumlah denda jika pelaku usaha tidak dapat menjaga kehalalan produk yang telah mendapatkan sertifikat halal. Pelanggaran produk yang telah tersertifikasi dengan mengabaikan kaidah aturan halal, seperti proses produksi yang tidak memisahkan halal dan haram, atau tidak melaporkan ke BPJPH ketika terjadi perubahan komposisi, tidak lagi menjadi pembahasan di UU Omnibuslaw ini. Sementara pelanggaran yang dinyatakan pada pasal 48 UU omnibus law terkait registrasi produk halal yang berasal dari luar negeri, yaitu sertifikat halal LN yang belum diregistrasi tetapi produk sudah beredar di NKRI hanya dikenakan sansksi administrasi yang diatur oleh PP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement