Senin 12 Oct 2020 20:16 WIB

Dinasti Politik Berpotensi Munculkan Pembelotan Kader Partai

Akademisi menilai dinasti politik berpotensi memunculkan pembelotan kader partai

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bayu Hermawan
 Pilkada Serentak (Ilustrasi)
Foto: Republika/Musiron
Pilkada Serentak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Mulyadi La Tadampali menyoroti soal maraknya dinasti politik pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. Menurutnya dinasti politik berpotensi memunculkan pembelotan partisan para kader partai. 

"Jadi kalau ada partai mencalonkan, ada orang yang dicalonkan bagian daripada oligarki kemudian dia ada yang menentang, yang menentang ini pasti kalah, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan pembelotan partisan," kata Mulyadi dalam konferensi pers terkait temuan Nagara Institute dinasti politik pada Pilkada 2020 yang digelar secara daring, Senin (12/10). 

Baca Juga

Mulyadi menambahkan, kader yang membelot secara ideologis memang tidak mempersoalkan. Namun persoalannya lantaran ada proses yang tidak dilalui secara demokratis.

"Ada hambatan struktural warga negara untuk menggunakan kesempatan yang sama. untuk menggunakan haknya, hak untuk kesetaraan politik, kesamaan politik iu tidak ada," ujar kurator penelitian Nagara Institute tersebut.

Sebelumnya Nagara Institute merilis hasil riset terbaru terkait temuan dinasti politik pada pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020. Berdasarkan partai pengusung, Peneliti Nagara Institute Febriansyah Ramadhan mengungkapkan bahwa Partai Golkar jadi partai pengusung dinasi politik terbanyak.

"Golkar menempati urutan pertama sebagai partai pengusung dinasti dengan angka 12,9 persen, disusul PDIP itu dengan angka 12,4 persen, dan terakhir partai pengusung dinasti ketiga itu adalah Nasdem dengan 10.1 persen," kata Febriansyah dalam paparannya melalui daring, Senin (12/10) 

Selain itu, dalam hal partai yang mengusung calon kepala daerah non-kader, Partai Nasdem tercatat sebagai partai terbanyak yang tidak mengusung kadernya dengan angka 13,1 persen. Disusul PDIP 11,7 persen, dan Partai Hanura 9,7 persen.

"Simpulan kami menunjukan bahwa parpol masih belum berhasil untuk menjadi laboratorium untuk melakukan fungsi rekrutmen, karena jantung dari masalah dinasti politik itu adalah fungsi rekrutmen parpol, tidak berjalan dengan baik,"  ujarnya.

Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faisal mengatakan pragmatisme partai politik masih ditunjukkan dengan merekrut orang-orang yang bukan kader partai. Fungsi rekrutmen yang tidak berjalan baik dinilai menjadi penyebab suburnya dinasti politik yang masih menjadi masalah dalam demokratisasi di tingkat lokal. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement