REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 hingga 41 persen di tahun 2030. Salah satu upayanya adalah mengatasi kebakaran yang terjadi di kawasan hutan gambut.
“Kami melakukan modifikasi cuaca agar hutan tersebut basah dan tidak mudah terbakar. Kami pun punya dana 60 sampai 70 persen untuk rehabilitasi dan konservasi lahan-lahan yang terbakar,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ruandha Agung Sugardiman, saat diskusi bertajuk “Pencapaian NDC Indonesia, Kita Optimis” secara virtual, Kamis (1/10).
Dikatakan Ruandha, walaupun di kondisi pandemi Covid-19, pihaknya tetap melakukan pertemuan negoisasi perubahan iklim di seluruh dunia yang bernama UNFCCC secara virtual. Setiap negara memiliki ambisinya masing-masing. Menurut ahli, angka 29 persen termasuk angka ambisius untuk mengurangi emisi GRK.
“Kata ahli, kondisi kami ambisius walaupun kami negara berkembang dan banyak lahan yang terbakar. Kami cukup ambisius. Kami punya roadmap masukan adaptasi perubahan iklim,” kata dia.
Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi (IGRK & MRV) Saiful Anwar mengatakan, tujuan inventarisasi GRK itu menyediakan informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan kecenderungan perubahan emisi serapan GRK termasuk simpanan karbon. Dasar hukum Perpres 71 tahun 2011 tentang penyelenggara investarisasi GRK Nasional. Lalu, Permen LHK No P.73/2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan pelaporan inventarisasi GRK.
Dia mengatakan, selama pandemi Covid-19 saat kebijakan PSBB, emisi GRK cenderung turun. Dia menyebut, emisi GRK transportasi darat, udara dan laut, sampai bulan Maret 2020, turun 34 persen. Lalu, sektor listrik tetap 20 juta ton tetapi listrik untuk sektor industri turun 4 sampai 5 persen. Namun, listrik di rumah tangga meningkat
Sdangkan selama masa awal PSBB yang dilaksanakan di sejumlah daerah pada April hingga Mei 2020, penurunan emisi GRK untuk transportasi udara hingga 90,4 persen di bulan Mei. Emisi transportasi laut menurun hingga 95,3 persen dan transportasi darat turun hingga 34,2 persen dibanding periode sama 2019.
Menurut dia, adapun solusi untuk menurunkan GRK yaitu dengan energi transportasi massal yaitu perluasan BRT dengan BBG di beberapa kota besar, MRT dan LRT jabodetabek, B100 dan D100, EBT seperti solar, wind, bio energy. Lalu, di bidang limbah harus ada program strategis nasional PSN akan membangun wastle to energy dengan RDF dari sampah. Dan pengelolaan limbah cair domestik.
"Proses Industri dan Penggunaan Produksi (IPPU) harus ada penurunan rasio klinker dalam industri semen. Lalu, pertanian budidaya lahan pertanian menggunakan varietas padi rendah emisi. Pengelolaan muka air tanah gambut. Pertanian organik (desa organic, pemupukkan berimbang dan UPPO),” kata dia
Terakhir, kata dia, dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, ada penanganan gambut teknologi modifikasi cuaca, peningkatan kesadaran seperti proklim dan masyarakat peduli api. “Perlu ada kebijakan transportasi dan peningkatan kualitas BBM dan energi terbarukan,” kata dia.