Kamis 01 Oct 2020 18:04 WIB

Stafsus BPIP Mimpikan Rekonsiliasi Peristiwa G30S

Kini saatnya membuka lembaran baru di bawah panji kesaktian Pancasila

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo memimpikan rekonsiliasi peristiwa 30 September 1965 atau G30S saat memperingati Hari Kesaktian Pancasila.
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo memimpikan rekonsiliasi peristiwa 30 September 1965 atau G30S saat memperingati Hari Kesaktian Pancasila.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo memimpikan rekonsiliasi peristiwa 30 September 1965 atau G30S saat memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Benny mendorong elite politik bersikap dewasa dalam hal menyikapi isu-isu radikalisme, terorisme, dan komunisme yang masih berkembang.

Menurut dia, sudah saatnya seluruh elemen bangsa bersatu. Kini saatnya membuka lembaran baru bernama sejarah yang lebih baik di bawah panji kesaktian Pancasila yang sebenarnya.

Baca Juga

Hari terakhir setiap September pernah menyisakan trauma yang memilukan bagi banyak masyarakat di Tanah Air. Pada hari yang sama, 55 tahun yang lalu, sejarah mencatatkan peristiwa berdarah G30S/PKI yang menewaskan tujuh pahlawan revolusi.

Sejarah kelam itu juga terekam dengan amat tajam dalam benak Jappy M Pellokila muda. Pria yang ketika peristiwa itu terjadi masih dalam usia remaja, sejatinya belum terlampau mampu mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

Namun, yang dia ingat ketika itu suasana malam di akhir September seketika berubah menjadi kelam, sunyi, dan orang dewasa di sekitarnya tampak tegang. Rumah Jappy satu kompleks dan berdekatan dengan rumah jabatan Gubernur NTT, Kantor Tentara (Korem Wira Cakti NTT), RRI Kupang, Gedung Wanita, dan Bank Indonesia, yang sebenarnya terbilang wilayah aman.

Namun, ada kekuatiran pada kedua orang tuanya sehingga Jappy beserta adik dan kakaknya tak diperbolehkan masuk sekolah pada hari itu. "Mereka takut kami jadi korban dari penculikan atau entah apa yang kita tidak tahu tetapi mungkin saja terjadi," kata Jappy yang kini menjadi penggagas Gerakan Damai Indonesia yang berpusat di Jakarta.

Jappy menempelkan telinganya pada radio yang suaranya tak pernah terdengar jernih sekalipun baterainya sudah diganti. Ia mendengarkan siaran RRI Jakarta, yang direlai oleh RRI Kupang, tentang kekuasaan NKRI yang tak lagi berada di bawah pemerintahan Presiden Sukarno.

Beberapa hari berlalu NTT yang ribuan kilometer jauhnya dari pusat NKRI tetap terasa kian mencekam. Lampu listrik harus dibungkus kertas karbon agar tak terlampau terang pada malam hari.

Belum lagi, dia terpaksa harus berjaga malam mengantisipasi berbagai kemungkinan. Sementara itu, di luar rumah, dia mendengar suara tentara yang tak henti lalu lalang di depan rumah lantaran rumahnya berhadapan persis dengan korem.

Setiap saat dia mendengar para pemuda yang berseru, berbaris, berteriak di jalan raya, ditambah lagi dengan terpaksa harus makan bulgur (biji gandum yang ditumbuk kasar dan dikeringkan). "Akhirnya kami tahu, dari percakapan orang dewasa, bahwa Partai Komunis Indonesia telah melakukan percobaan kudeta namun gagal," katanya.

Kegagalan itu karena ABRI berhasil mengusai keadaan negara. Selanjutnya, kata dia, ada perintah pembasmian semua unsur yang terlibat dengan kudeta yang gagal, yaitu orang-orang komunis atau disebut PKI.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement