Kamis 01 Oct 2020 16:44 WIB

Pilkada di Tengah Pandemi dan Sikap Ambivalen Pemerintah

Faktanya, tahapan awal Pilkada sudah diisi dengan begitu banyak pelanggaran protokol.

Spanduk sosialisasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang terpasang di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Senin (28/9).Meskipun banyak desakan dari sejumlah organisasi dan kalangan masyarakat untuk menunda Pilkada karena dikhawatirkan dapat menjadi klaster penularan Covid-19, Pilkada serentak yang diadakan di 270 daerah di Indonesia itu akan tetap dilaksanakanan pada 9 Desember 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Spanduk sosialisasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang terpasang di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Senin (28/9).Meskipun banyak desakan dari sejumlah organisasi dan kalangan masyarakat untuk menunda Pilkada karena dikhawatirkan dapat menjadi klaster penularan Covid-19, Pilkada serentak yang diadakan di 270 daerah di Indonesia itu akan tetap dilaksanakanan pada 9 Desember 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Fauziah Mursid, Rizky Suryarandika

Meski banyak mendapat kritik, Pilkada tahun ini dipastikan pemerintah terus berjalan. Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Firman Noor, mendorong pemerintah dan DPR menunda pelaksanaan Pilkada 2020. Sebab, jika tetap dilakukan maka pilkada sangat berpotensi menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.

Baca Juga

"Sikap berkeras diri untuk tetap melangsungkan Pilkada 2002 bukanlah sebuah sikap bijak dari sebuah pemerintahan demokratis yang terbentuk atas dasar kehendak rakyat," kata Firman, dalam telekonferensi, Kamis (1/10).

Setidaknya ada 12 pertimbangan dari LIPI terkait betapa perlunya pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda. Di antaranya adalah, penyelenggaraan Pilkada 2020 berpotensi menimbulkan pelanggaran kemanusiaan akibat terabaikannya aspek-aspek keselamatan manusia.

"Keselamatan manusia yang juga menjadi dasar utama tujuan berbangsa dan bernegara, sebagaimana termaktub pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945," kata dia menambahkan.

Angka penyebaran kasus positif Covid-19 belum juga menunjukkan tanda penurunan signifikan. Sepanjang September, data Satuan Tugas Covid-19 menyebut kecenderungan kenaikan kasus harian pada September, empat kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata kasus periode Juli-Agustus.

"Angka tersebut pada dasarnya juga belum menggambarkan kondisi sesungguhnya, karena pelaksanaan rapid test atau swab test di Indonesia masih tergolong rendah," kata dia menambahkan.

Selain itu, Firman juga menyinggung fakta di lapangan terkait pelaksanaan tahapan-tahapan Pilkada 2020. Kampanye yang dilakukan menunjukkan tingkat kedisiplinan masyarakat peserta dan penyelenggara Pilkada 2020 tergolong masih rendah untuk mematuhi protokol kesehatan Covid-19.

Dari total daerah yang akan melaksanakan Pilkada 2020, terdapat 50 kabupaten/kota dengan kategori rawan tinggi. Selain itu 126 kabupaten/kota berada dalam kategori rawan sedang, dan 85 kabupaten/kota kategori rawan rendah.

"Data tersebut menunjukkan bahwa situasi pandemi Covid-19 menjadi faktor penentu tingkat keselamatan Pilkada 2020 dan menjadi tolok ukur pilkada yang sehat bagi pemilih, peserta dan penyelenggara," kata Firman menegaskan.

Tetap diselenggarakannya Pilkada 2020 ambivalen atau bertentangan dengan semangat mencegah Covid-19. Firman mengatakan pemerintah membuat peraturan pembatasan sosial, namun justru mengadakan pilkada yang berpotensi menimbulkan kerumunan.

"Pemerintah di satu sisi melakukan pembatasan untuk menghindari kerumunan masyarakat dengan adanya kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Namun, di sisi lain memberikan peluang terjadinya konsentrasi massa pada tahapan penyelenggaraan Pilkada 2020," kata Firman.

Kerumunan yang berpotensi muncul bukan hanya pada pelaksanaan pilkada. Potensi kerumunan juga tinggi selama masa pra kampanye dan kampanye. Kegiatan berkumpul ini tentunya meningkatkan risiko Covid-19 di dalamnya.

Menurut Firman, sikap ambivalensi pemerintah terlihat dari kebijakan agar daerah menunda penyelenggaraan Pilkades 2020 hingga penyelenggaraan Pilkada 2020 selesai dilaksanakan. Penundaan ini salah satunya didasarkan pada Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 9.A 2020.

"Surat edaran ini ambivalen karena baik pilkades maupun pilkada sama-sama diselenggarakan pada suasana pandemi Covid-19," kata Firman menambahkan.

Masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keputusan penyelenggaraan Pilkada 2020. "Demi kepentingan jangka panjang dan kepentingan yang lebih besar. Baik terkait dengan hakikat pilkada dan demokrasi, hakikat hak-hak politik rakyat yang harusnya dilaksanakan dengan lebih komprehensif, lebih gembira ria," kata dia lagi.

 

Wakil Presiden Ma'ruf Amin berharap pelaksanaan Pilkada 2020 bisa berjalan sukses, namun tanpa mengorbankan keselamatan jiwa dan kesehatan masyarakat. Ma'ruf pun mengajak segenap lembaga negara untuk mengawal agar pesta demokrasi itu dapat berjalan Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER).

Ma'ruf mengatakan, sebagaimana ditegaskan dalam agama, menjaga keselamatan jiwa (hifdzun nafs) harus menjadi prioritas utama dibanding yang lainnya. Karena itu, keselamatan jiwa harus menjadi prioritas dalam pelaksanaan Pilkada, sehingga protokol kesehatan harus menjadi standar wajib.

"Untuk itu kiranya kita semua jangan pernah merasa jenuh ataupun lelah untuk saling mengingatkan tentang pentingnya mematuhi protokol kesehatan, khususnya dalam pelaksanaan berbagai tahapan Pilkada 2020," ujarnya.

Sebab, kata Ma'ruf, pandemi Covid-19 hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Namun, ia berharap tren penularan secara kuantitatif bisa segera melandai, mengingat tingkat kesembuhan telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Kampanye dalam Pilkada memang sudah diatur agar sesuai dengan rambu protokol kesehatan Covid-19. Pertemuan tatap muka dalam tahapan kampanye dilarang kecuali di daerah yang terkendala sinyal internet.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menyampaikan program pembangunan Base Transceiver Station (BTS) sebenarnya sudah punya rencananya sendiri. Program itu tak bisa lantas dikebut hanya karena akan diadakannya Pilkada 2020.

Johnny menyampaikan program pembangunan BTS memakan biaya besar. Sehingga tak cukup dalam sekali penganggaran saja di pagu anggaran tahunan Kemenkominfo. Kemenkominfo tak bisa mempercepatnya demi mengejar Pilkada 2020 yang tak terkendala sinyal.

"Kami akan bangun BTS di seluruh desa/kelurahan yang belum dibangun infrastrukturnya oleh operator seluler. Baru dibiayai dari APBN 2021-2022. Ini makan puluhan triliun bukan proyek puluhan miliar, sedangkan pilkada tinggal 3 bulan jadi tidak relevan kalau dipercepat," kata Johnny, Rabu (29/9).

Johnny meminta peserta Pilkada 2020 kreatif memanfaatkan kampanye dengan segala keterbatasannya. Sebab Kemenkominfo tak menjamin penetrasi kampanye daring di daerah pelosok.

Pilkada serentak tahun ini diadakan di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Dari jumlah itu, 144 daerah termasuk kategori kerawanan sedang dalam infrastruktur teknologi informasi. Sedangkan 117 lainnya masuk kategori kerawanan tinggi diantaranya Manokwari Selatan, Solok, Sijunjung, Morowali Utara. Jika dirinci, ada 1.338 kecamatan yang terkendala jaringan.

"2020 ini tinggal tiga bulan, manfaatkan teknologi yang bisa digunakan. Jangan hanya lihat sulitnya, maksimalkan yang bisa digunakan," ucap Johnny.

Johnny menekankan sinyal telekomunikasi bukan hanya disediakan oleh Kemenkominfo saja. Pihak operator telekomunikasi justru menyumbang "sumbangsih" lebih besar dalam mengoneksi pelosok.

"Sinyal itu bukan Kominfo saja yang sediakan karena 80 persen disediakan operator seluler secara komersil. Di wilayah yang belum disediakan operator itulah pemerintah hadir," ujar Johnny.

"Saya siapkan itu pembangunan TIK (teknologi informasi dan komunikasi). Baru selesai 2022 dari 2021. 2023 ditambah satelit multifungsi dengan kapasitas besar," tambah Johnny.

Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19 menyebutkan, pertemuan terbatas serta pertemuan terbuka dan dialog diupayakan melalui media sosial atau daring. Jika tidak bisa dilaksanakan secara daring, pelaksanaannya boleh melalui tatap muka.

Namun, pertemuan tatap muka tersebut harus dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan yang tercantum dalam PKPU Nomor 13/2020. Jika KPU sepenuhnya melarang pertemuan terbatas serta pertemuan terbuka dan dialog dilakukan secara fisik, maka akan melanggar undang-undang.

Dalam Pasal 58 PKPU Nomor 13/2020 menyebutkan, pelaksanaan kampanye yang dilaksanakan secara tatap muka, harus mematuhi protokol kesehatan dengan menyediakan sarana sanitasi berupa air mengalir, sabun, atau hand sanitizer. Peserta kampanye dibatasi maksimal 50 orang.

Setiap peserta wajib menerapkan jaga jarak dan menegenakan alat pelindung diri paling kurang berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu. Sementara itu, kampanye akan dimulai 26 September sampai 5 Desember, selama 71 hari. Rizky surya

Sementara ahli Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyarankan kepolisian agar menerapkan protokol kesehatan selama Pilkada 2020 memakai Undang-Undang (UU) Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Aturan itu bisa menjadi dasar polisi menindak tegas siapapun yang melanggar prokes, termasuk pasangan calon (paslon) peserta Pilkada.

Margarito menyoroti penerapan protokol kesehatan dalam Pilkada akhirnya diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Sehingga pada dasarnya, PKPU ini membelenggu Satgas Covid-19 dan polisi dalam penindakan hukum selama tahapan Pilkada.

"Nah ini diatur dalam PKPU, siapa yang menegakkan? dalam pemilu, satgas, polisi tidak bisa tindak. Ditindak oleh Bawaslu ini. Polisi hanya bekerja kalau kasusnya masuk ke Gakumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu), tidak bisa di luar itu," kata Margarito.

Tetapi menurutnya polisi tak bisa angkat tangan begitu saja ketika pelanggaran prokes berlangsung selama Pilkada. Polisi bisa memakai aturan lain untuk memberi sanksi pelanggar prokes demi terjaminnya keselamatan masyarakat.

"Karena sudah ada UU Karantina Kesehatan, aturannya protokol kesehatan ada disana. Yang penting ada pernyataan PSBB, kalau ada yang langgar maka gunakan UU karantina kesehatan. Sanksinya ada kok di sana," ujar pria asal Kota Ternate itu.

Atas dasar itu, Margarito menilai aturannya sudah cukup memadai dalam penerapan prokes kala Pilkada. Yang jadi masalah berikutnya ialah seberapa jauh komitmen untuk menerapkannya. Apalagi ajang Pilkada selalu identik dengan tarik menarik kepentingan.

"Perangkat hukum sudah cukup, pakai saja UU Karantina Kesehatan. Tapi khusus soal pemilu yang nindak adalah Bawaslu tidak di luar itu siapa pun itu. Kalau UU Karantina Kesehatan bisa polisi ambil kewenangan. Satpol PP tidak bisa kecuali diatur dalam Perda," jelas Margarito.

photo
Sejumlah kegiatan dilarang pada masa kampanye Pilkada 2020 terkait pandemi Covid-19. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement