Senin 28 Sep 2020 17:12 WIB

Ancaman Mogok Nasional Buruh Saat RUU Ciptaker Disahkan DPR

Klaster ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker selesai dibahas DPR pada 25-27 September.

Sejumlah massa dari berbagai elemen saat melaksanakan aksi tolak Omnibus Law di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (16/7). Buruh juga berencana menggelar mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 atau pada saat DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja. (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah massa dari berbagai elemen saat melaksanakan aksi tolak Omnibus Law di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (16/7). Buruh juga berencana menggelar mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 atau pada saat DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Febrianto Adi Saputro

Puluhan pimpinan Konfederasi dan Federasi Serikat Pekerja pada Ahad (28/9) menggelar rapat di Jakarta, bersamaan dengan dibahasnya klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja (Ciptaker) oleh DPR dan pemerintah. Hasil rapat, buruh bersepakat akan menggelar aksi mogok nasional RUU Ciptaker.

Baca Juga

“Dalam mogok nasional nanti, kami akan menghentikan proses produksi. Di mana para buruh akan keluar dari lokasi produksi dan berkumpul di lokasi yang ditentukan masing-masing serikat pekerja di tingkat perusahaan,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal melalui pesan yang diterima Republika.co.id, Senin (28/9).

Said menyatakan, mogok nasional akan dilakukan secara tertib dan damai. Aksi ini rencananya akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut, dimulai pada 6 Oktober 2020 dan diakhiri pada saat sidang paripurna yang membahas RUU Ciptaker pada 8 Oktober 2020.

“Dasar hukum secara konstitusional mogok nasional ini adalah menggunakan dua undang-undang, yaitu UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (Demonstrasi) dan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Para buruh tentu akan mengikuti prosedur dari dua undang-undang tersebut,” ujarnya.

Mogok nasional dengan menyetop produksi ini akan diikuti kurang lebih 5 juta buruh di ribuan perusahaan di 25 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Aksi ini diklaim Iqbal, akan melibatkan beberapa sektor industri seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif dan komponen, elektronik dan komponen, industri besi dan baja, farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja pelabuhan, logistik, perbankan, dan lain-lain.

Mogok nasional ini dilakukan sebagai bentuk protes buruh Indonesia terhadap pembahasan RUU Ciptaker. Selain itu, serikat pekerja juga meminta tidak ada pasal-pasal di dalam UU 13/2003 yang diubah atau dikurangi.

Said menambahkan, sudah hampir bisa dipastikan jika dalam pembahasan RUU Ciptaker terjadi kejar tayang antara pemerintah dan DPR RI agar RUU itu bisa disahkan menjadi UU pada 8 Oktober 2020.

"KSPI dan buruh Indonesia menolak keras sistem kejar tayang yang dipaksakan oleh pemerintah dan DPR RI, di mana omnibus law akan disahkan pada tanggal 8 Oktober 2020," tegasnya.

Wakil Ketua Panitia Kerja (Panja) Omnibus Law RUU Ciptaker Achmad Baidowi menepis tudingan tersebut.

"Yang kejar tayang siapa? Enggak ada yang kejar tayang," kata Baidowi kepada Republika, Ahad (27/9).

Baidowi mengungkapkan, RUU Ciptaker sudah diajukan pemerintah sejak Februari 2020. Menurutnya, wajar jika ada aspirasi yang tidak tertampung, sebab yang menyampaikan aspirasi tidak hanya buruh, tetapi DPR juga perlu mendengarkan aspirasi pengusaha dan pemerintah.

"Maka Undang-undang itu bukan produk yang mati, Undang-undang itu harus dilihat dengan kontekstualnya, revisi itu bukan sesuatu yang aneh, hal yang biasa saja. tugas DPR ya melakukan produk legislasi," ujarnya.

Klaster ketenagakerjaan

Alih-alih mencabut klaster ketenagakerjaan dari RUU Ciptaker, DPR pada akhir pekan lalu 'mengebut' pembahasan klaster ketenagakerjaan yang rampung dalam diabahas pada 25-27 September. Pembahasan juga tidak digelar di Gedung DPR, melainkan di sebuah hotel di Tangerang, Banten.

"Selesailah klaster ketanagakerjaan, dengan beberapa perubahan dan kesepakatan yang kita ambil pada malam hari ini," kata Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas dalam rapat pembahasan klaster ketenagakerjaan sebagaimana ditayangkan oleh kanal Youtube resmi DPR RI, Ahad (27/9).

Dalam prosesnya, empat fraksi parpol di Panja RUU Omnibus Law Ciptaker di Baleg DPR sempat meminta agar klaster ketenagakerjaan ditarik dari draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Fraksi yang meminta klaster ketenagakerjaan di-drop itu adalah Demokrat, Nasdem, PKS, dan PAN.

Sementara, Golkar dan PKB berharap agar tetap dibahas. Gerindra menyatakan agar dibahas untuk ditentukan urgensinya. Sementara PDIP dan PPP tak bersikap dan meminta penjelasan pemerintah soal urgensi mengatur ulang Ketenagakerjaan dalam UU Nomor 13 tahun 2003 menjadi klaster di RUU Cipta Kerja.

Namun, setelah adanya penurunan materi muatan klaster ketenagakerjaan, hasil rapat menyimpulkan bahwa pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam klaster ketenagakerjaan tetap diselesaikan dan masuk dalam RUU Cipta Kerja.

Anggota Baleg DPR Firman Soebagyo membenarkan, bahwa pemerintah dan Baleg DPR melalui panitia kerja (panja) RUU Ciptaker telah menuntaskan pembahasan klaster ketenagakerjaan pada Ahad (28/9) malam. Dirinya mengakui meskipun melalui diskusi dan pembahasan yang panjang, beberapa poin akhirnya sudah disepakati dalam klaster ketenagakerjaan.

   

"Soal pesangon, upah minimum, dan jaminan kehilangan pekerjaan semuanya sudah diketok palu dan tuntas dibahas. Seluruh fraksi sudah setuju dan poin-poin ini sudah mendapat masukan dari elemen terkait mulai dari pemerintah, DPR, serikat pekerja, dan pengusaha,” kata Firman Soebagyo dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Senin (28/9).

Politikus Partai Golkar tersebut menjelaskan, terkait pesangon, pemerintah dan DPR yang telah mendapat masukan dari para stakeholder, akhirnya disetujui tetap ada dengan jumlah 32 kali gaji. Rinciannya, 23 kali ditanggung oleh pemberi kerja atau pengusaha dan sisanya ditanggung oleh pemerintah.

"Ini seperti Undang-Undang existing atau yang berlaku sekarang. Pesangon tetap 32 kali gaji," ujarnya.

Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS Mulyanto sempat memprotes ketentuan itu. Sebab, 32 kali haji yang dijanjikan oleh UU 13/2003 harus dibayar oleh pemberi kerja terkesan lebih memberikan kepastian pada buruh atau pekerja.

"Kalau ini (RUU Ciptaker) rasanya masih merugikan," ujarnya.

Namun, Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas menjelaskan bahwa angka ini merupakan kesepakatan jalan tengah. Di satu sisi, hal ini memberi afirmasi keringanan pada pengusaha. Di lain pihak, hak-hak pekerja dan buruh terkait pesangon juga tidak berkurang.

"Ini bermanfaat bagi kedua belah pihak. Itulah yang kita sepakat," ujar dia, sesaat sebelum mengetuk palu tanda DIM disetujui.

Sementara terkait Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), pemerintah dan DPR juga sepakat untuk tetap dijalankan dengan syarat atau kriteria tertentu. UMK juga tetap ada menyesuaikan inflasi dan tidak dikelompokan secara sektoral.

Poin lain yang juga disetujui di klaster ketenagakerjaan adalah soal Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Kecelakaan Kerja. Firman mengungkapkan, semua jaminan kehilangan pekerjaan ini, pada intinya disetujui untuk tetap disubsidi melalui upah dengan menggunakan data BPJS Ketenagakerjaan.

Pelaksanaan Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini, akan tetap menjadi tanggungan yang diambil oleh pemerintah. Iuran kepesertaan juga akan tetap disubsidi dan ditanggung oleh pemerintah yang realisasinya bisa diatur sebagai bagian dari iuran BPJS Ketenagakerjaan.

"Skema dan besarannya akan diatur oleh pemerintah. Sebenernya ini sama saja seperti hari ini. Nanti akan kita bahas juga dalam pembahasan lebih rinci soal pesangon dan jaminan kehilangan pekerjaan ini,” jelasnya.

photo
Usulan Ubah Nama RUU Cipta Kerja - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement