Senin 28 Sep 2020 02:01 WIB

RUU Cipta Kerja Sepakati Hapuskan Upah Minimum Sektoral

Pekerja maupun pengusaha harus mendapatkan kepastian hukum terkait upah.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas.
Foto: dpr
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja disepakati oleh DPR dan Pemerintah akan menghilangkan ketentuan terkait upah minimum sektoral dari seluruh kebijakan pengupahan yang ada pada peraturan perundang-undangan. Namun, apabila skema pengupahan sektoral itu sudah terlanjur diberikan perusahaan, maka skema yang diberikan itu tidak boleh dicabut, agar pekerja tidak mengalami degradasi pendapatan yang biasa diterima.

"Terkait upah sektoral ini kan yang paling penting, apa yang diterima hari ini oleh pekerja tidak boleh berkurang kalau kemudian Undang-Undang Cipta Kerja ini disahkan," kata Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas dalam rapat Panitia Kerja RUU Omnibus Law Cipta Kerja, di Senayan, Jakarta, Ahad (27/9).

Baca Juga

Kedua, Pemerintah dan DPR bersepakat tidak akan menghapus ketentuan terkait upah minimum, baik upah minimum provinsi maupun upah minimum kabupaten/kota dalam UU Ketenagakerjaan dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Keputusan itu yang paling penting, kata Supratman, karena pekerja maupun pengusaha harus mendapatkan kepastian hukum tentang adanya kenaikan upah yang diterima pekerja setiap tahunnya. "Ini memberikan kepastian hukum, baik kepada pekerja maupun pengusaha, kepastian akan kenaikan upah itu yang paling penting dalam norma ini," kata Supratman.

Dengan adanya keputusan tidak menghapus ketentuan upah minimum provinsi dan kabupaten/kota, maka diharapkan upah pekerja saat ini tidak dikurangi sama sekali.

Pemerintah yang diwakili oleh Staf Ahli Kementerian Koordinator Perekonomian Elen Setiadi sepakat dengan keputusan itu.

Elen mengatakan bahwa pada dasarnya Pemerintah hanya bisa sepakat dengan dua ketentuan upah, yakni upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota.

Elen menyampaikan bahwa Pemerintah juga tidak sepakat dengan ketentuan soal upah minimum padat karya.

"Pemerintah menyampaikan dua bentuk upah minimum sebagai safety net, yang pertama adalah upah minimum provinsi, kedua adalah upah minimum kabupaten/kota sesuai dengan persyaratan yang kami ajukan," kata Elen.

Adapun persyaratan yang diajukan soal upah minimum kabupaten/kota adalah boleh diberikan dengan mempertimbangkan pertumbuhan daerah dan tingkat inflasi. Kendati pemerintah tidak sepakat dengan adanya ketentuan lain di luar dua ketentuan upah minimum yang disepakati tadi, kata Elen, perusahaan yang telah memberikan upah di atas dua ketentuan upah minimum tadi, tidak boleh mengurangi upah yang mereka berikan kepada pekerjanya.

Menanggapi pernyataan Elen tersebut, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya meminta agar pemerintah membuatkan normanya dalam undang-undang. "Biar jaminan itu jelas bagi kita semua," kata Willy. 

Ketua Baleg DPR RI menegaskan bahwa norma itu harus ada. "Tolong nanti Tenaga Ahli (Baleg DPR), dicatat ya. Nanti untuk kami buat di Tim Perumus (Timus) RUU Cipta Kerja. Prinsipnya, Pemerintah setuju untuk menjamin tidak ada degradasi terhadap penghasilan yang existing sekarang. Setuju ya," kata Supratman.

Implikasi dari keputusan itu ialah provinsi memiliki kebijakan pengupahan yang seragam menyesuaikan dengan ketentuan mengenai upah minimum provinsi dan kabupaten/kota.

Selama ini, adanya ketentuan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) yang nilainya 5 persen di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) menyebabkan provinsi telah menetapkan UMSP, tidak memberlakukan UMP yang ditetapkan oleh pemerintah.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement