REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Rizal Ramli meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus aturan ambang batas presiden (presidential threshold) karena menghilangkan hak konstitusional sejumlah partai politik yang ingin mengusung pasangan calon dalam pemilu.
Kuasa hukum Rizal Ramli, Refly Harun, dalam sidang pendahuluan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang digelar secara virtual, Senin (21/9), mengatakan, sejumlah partai baru peserta Pemilu 2019 tidak dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden karena belum memiliki suara atau kursi di Senayan.
Padahal Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum", menurut Refly, memberikan hak konstitusional kepada seluruh partai politik untuk mengusung calon.
Refly menjelaaskan, apabila aturan terkait ambang batas presiden tetap ada, penghilangan hak konstitusional partai politik terus berulang setiap penyelenggaraan pemilu.
"Jadi permohonan ini bukan menurunkan ambang batas presiden, tetapi menghilangkan ambang batas presiden sama sekali karena kami berdalil bahwa ambang batas presiden bertentangan dengan sejumlah pasal dalam konstitusi," tutur Refly.
Untuk mengubah pandangan MK, Refly mendalilkan semestinya persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden termasuk close legal policy karena UUD 1945 telah mengatur mengenai pembatasan atau syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Refly mendalilkan pentingnya penghapusan ambang batas presiden karena aturan itu merupakan upaya terselubung partai-partai besar untuk menghilangkan penantang dalam kontestasi lima tahunan.
Ambang batas presiden, kata dia, menutup ruang dilaksanakannya putaran kedua, misalnya terjadi dalam Pemilu 2019 yang menghadirkan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.