REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Antara, Mimi Kartika
Pasal 222 dalam UU Pemilu tentang aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden alias presidential threshold (PT) kembali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai pemohon kali ini, Refly Harun dan Rizal Ramli meminta agar PT 20 persen dihapus.
"Permohonan ini bukan menurunkan PT, tapi menghilangkan PT sama sekali. Karena kami berdalil bahwa PT bertentangan dengan sejumlah pasal dalam konstitusi," ujar Refly dalam sidang pendahuluan di hadapan hakim MK secara virtual, Senin (21/9).
Refly menjelaskan, argumentasi yang ia berikan terkait fakta yang terjadi pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu. Dia melihat, hak konstitusional setidaknya empat partai politik (parpol) hilang untuk mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Partai-partai itu, yakni Partai Berkarya, Partai Garuda, Partai Solidaritas Indonesia, dan Perindo.
Pada Pilpres 2019, keempat partai itu tidak bisa mengajukan calon karena tidak memiliki sama sekali kursi di parlemen dan satu suara pun. Dengan begitu, mereka kehilangan hak untuk mengajukan pasangan calon.
"Padahal seperti kita tahu menurut UUD 1945 Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa paslon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pemilu. Jadi kami anggap, mengajukan paslon capres dan cawapres itu adalah hak konstitusional yang seharusnya tidak boleh dihilangkan dalam peraturan di bawahnya," kata Refly.
Refly menilai, ada banyak hal yang bersifat nonkonstitusional dalam aturan itu. Selain dapat membuat demokrasi kriminal atau demokrasi para cukong, pihaknya mengengarai peraturan itu digunakan sebagai cara untuk menghilangkan persaingan di dalam kontes demokrasi. Dia juga merasakan terjadinya pembelahan masyarakat akibat peraturan itu.
"Ini terjadi pasca-Pilpres 2014 dan 2019 dengan dua paslon yang justru menurut kami akan makin bahayakan eksistensi negara dan demokratisasi di Indonesia," jelas dia.
Untuk mengubah pandangan Mahkamah Konstitusi, Refly Harun mendalilkan semestinya persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden termasuk close legal policy karena UUD 1945 telah mengatur mengenai pembatasan atau syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Refly Harun mendalilkan pentingnya penghapusan ambang batas presiden karena aturan itu merupakan upaya terselubung partai-partai besar untuk menghilangkan penantang dalam kontestasi lima tahunan. Ambang batas presiden disebutnya menutup ruang dilaksanakannya putaran kedua, misalnya terjadi dalam Pemilu 2019 yang menghadirkan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Adapun, Rizal Ramli mengaku khawatir calon-calon terbaik tidak dapat turut berkompetisi dalam pemilu karena aturan PT 20 persen. Dalam sidang pendahuluan di MK, Rizal yang ingin berkompetisi dalam Pilpres 2024 menyebut kebanyakan calon peserta pemilu tidak mempunyai uang untuk membayar upeti yang diminta partai politik.
"Yang terjadi adalah begitu mereka terpilih, mereka lupa tanggung jawabnya kepada rakyat dan kepada bangsa atau konstituennya, malah sibuk mengabdi pada bandar-bandar yang membiayainya," ujar dia, yang mengaku pernah digaet partai politik pada pemilu dan diminta membayar hampir sebesar Rp1,5 triliun.
Menurut dia, sistem demokrasi yang berlaku di Tanah Air hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dan menghambat munculnya tokoh-tokoh berkualitas dan berintegritas untuk memasuki kompetisi pesta demokrasi. Ia mendalilkan aturan ambang batas dalam pasal 222 UU Nomor 7/2017 merupakan penyebab demokrasi di Indonesia tidak mampu membawa keadilan dan kemakmuran untuk rakyat.
"Inilah kesempatan bersejarah, Pak Hakim, untuk mengubah Indonesia, saya ingin kita semua mewariskan satu sistem demokrasi yang betul-betul adil dan amanah," ujar Rizal.
Sebelumnya, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI), Moch Nurhasim mengusulkan agar ambang batas presiden diturunkan dari pemilu sebelumnya yang mencapai 20 persen. Jika pilpres menerapkan ambang batas yang sama, maka kontestasi politik antara dua pasangan calon saja terus terjadi berulang kali.
"Dampak politiknya, polarisasinya akan sangat tinggi, dan ini akan mengulang terus menerus di dalam kontestasi politik Indonesia," ujar Nurhasim, belum lama ini.
Nurhasim mengatakan, apabila penerapan ambang batas ini masih sama dengan Pemilu 2019, akan menciptakan polarisasi politik dan politik head to head. Hal ini sudah terjadi pada dua gelaran pemilu sebelumnya yakni 2014 dan 2019 lalu.
"Kenapa syarat presidensial itu perlu diubah, ini agar tercipta paling tidak pada tahapan awal itu ada tiga sampai empat calon presiden dan wakil presiden," lanjut Nurhasim.
Menurut dia, idealnya minimal ambang batas presiden ditetapkan sebesar 10 persen sampai 15 persen. Ia menyebutkan, 10 persen untuk suara DPR dan 15 persen suara pemilu tingkat nasional agar kemungkinan ada empat sampai lima calon presiden.
Selain itu, alasan syarat presidential threshold perlu diubah dan tidak terlalu tinggi karena konstitusi mengamanatkan pilpres presiden berdasarkan suara mayoritas mutlak, 50 persen + 1. Nurhasim meminta revisi UU Pemilu tak memaksakan sistem pemilihan presiden menjadi pluralistis.
Ia menjelaskan, Indonesia membutuhkan mayoritas mutlak agar presiden itu milik bersama bukan milik kelompok. Kemudian legitimasinya menjadi kuat sehingga kebijakan-kebijakan politik dan langkah yang diambil tidak menimbulkan persoalan.
"Kalau kemudian plurality terus, problem ketidakpercayaan, problem legitimasi, yang dianggap kurang dan sebagainya ini akan terus-menerus menjadi persoalan sehingga opsi ambang batas pencalonan presiden itu harus dilihat," jelas Nurhasim.
Ia menambahkan, jika batas minimal ditetapkan 10-15 persen, penting menentukan batas maksimal secara tepat. "Jangan sampai suatu saat kita memilih presiden calon tunggal, ini saya kira akan mereduksi sistem demokrasi kita," lanjut dia.