REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono
Semua warga negara sama di mata hukum. Norma luhur yang termaktub dalam UUD 1945 itu sudah semestinya berlaku bagi setiap warga negara yang harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum termasuk dalam kasus Djoko Tjandra, yang juga melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Namun, yang tampak saja, Djoko Tjandra kerap hadir di Kejaksaan Agung (Kejakgung) tanpa pernah diborgol. Sebaliknya Pinangki, belenggu besi selalu terlihat melingkar di tangannya jika sang jaksa menjalani pemeriksaan.
Adanya borgol yang melingkar di tangan tersangka, sejatinya bukti aparat penegak hukum, tak main-main, dan tak mau membeda-bedakan dalam mengekang hak seorang terduga pelaku kejahatan. Apalagi tersangka korupsi.
Jika Pinangki selalu dihadirkan ke ruang pemeriksaan di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejakgung dengan tangan diborgol, mengapa situasi itu tidak terjadi pada Djoko Tjandra ketika turun dari mobil tahanan sebelum masuk ke ruang pemeriksaan di gedung bundar, pun setelah usai pemeriksaan, dan diantar kembali ke penjara?
Padahal, keduanya, punya status hukum yang sama. Sama-sama tersangka kasus yang sama.
Djoko memberikan uang ke Pinangki 500 ribu dolar AS (sekitar Rp 7,5 miliar) untuk mengurus fatwa bebas di Mahkamah Agung (MA). Djoko dan Pinangki, sama-sama pula sebagai tahanan. Djoko bahkan merangkap terpidana korupsi Bank Bali 1999.
Pinangki ditetapkan tersangka pada Selasa (11/8) malam. Jaksa kelahiran 1981 itu, langsung ditahan di Rutan Salemba, cabang Kejakgung Jakarta Selatan (Jaksel). Setelah tersangka, kejaksaan pernah kena ‘semprot’ publik, karena terkesan tak memberikan akses kepada media, tentang pemeriksaan terhadapnya.
Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menegaskan, publik, lewat peran media, berhak untuk tahu proses pemeriksaan Pinangki di Gedung JAM Pidsus. Kejaksaan, wajib menampilkan Pinangki ke hadapan publik lewat peran media, saat sebelum masuk ruang pemeriksaan, atau usai dimintai keterangan di penyidikan. Sebab saat pemeriksaan pertama, pada 26 Agustus, kejaksaan seperti ‘melindungi’ Pinangki dari sorotan.
Baru pada 2 September, pihak Kejakgung menampilkan Pinangki ke hadapan publik. Malam itu, pemeriksaan Pinangki yang kedua sebagai tersangka. Ratusan pewarta tulis, foto, serta televisi tumplak di Gedung Bundar hanya untuk mendapatkan bukti nyata Pinangki yang sudah tersangka dan tahanan.
Selama ini, Kejakgung menampilkan sosok Pinangki yang terang dalam status pesakitan. Pinangki, mengenakan rompi merah muda tanda dia tahanan. Lengkap dengan borgol yang melilit kedua pangkal tangannya. Meskipun Pinangki tak mau menjawab pertanyaan waratwan, ia sendiri yang menampakkan borgol dengan cara mengatupkan kedua telapak tangannya sebagai tanda permohonan atau menyapa pewarta.
Wajah Pinangki memang tak terlihat karena masker. Tetapi cara kejaksaan menampilkan ‘anaknya’ sendiri dengan kondisi diborgol, lengkap dengan rompi tahanan, boleh dibilang wujud sikap tak pandang bulu dalam penegakan hukum.
Penampakkan Pinangki yang ketiga kalinya di Gedung Pidsus, juga demikian. Pada pemeriksaan Rabu (9/9), Pinangki, sudah mulai mengenakan kerudung abu-abu yang menutup kepala dan seluruh rambutnya. Namun, ia tetap mengenakan rompi tahanan, pun dalam kondisi diborgol saat masuk ke ruang riksa.
Seusai menjalani pemeriksaan lebih dari 10 jam, saat akan dikembalikan ke sel tahanan, Pinangki kembali mengatupkan kedua telapak tanggannya, menunjukkan borgol yang melilit di pergelangan tangannya. Meskipun, tetap saja dia bungkam dari semua media yang membutuhkan pernyataan darinya.
Pemeriksaan yang keempat terjadi pada Senin (14/9). Pinangki sudah tampil beda.
Ia sudah mengenakan busana terusan panjang yang menutupi sampai ke alas kakinya. Lengkap dengan hijab besar bermotif bunga menjulur ke pangkal lengannya.
Namun, saat ia menyapa pewarta dengan lagi-lagi mengatupkan kedua telapak tangannya, rompi tahanan, dan borgol pengekang tampak tersingkap. Empat kali keluar masuk Gedung Pidsus sebagai tersangka, dan tahanan, otoritas kejaksaan, belum pernah sekalipun melepas borgol yang merantai kedua tangannya.
In Picture: Bareskrim Periksa Jaksa Pinangki di Rutan Salemba
Lalu, bagaimana perlakuan Kejakgung terhadap Djoko Tjandra? Terpidana korupsi yang merugikan keuangan negara Rp 904 miliar ini, ditetapkan tersangka di JAM Pidsus, pada Kamis 27 Agustus. Sebelumnya, Jumat (14/8) Bareskrim Polri, menetapkan dia sebagai tersangka. Statusnya, pun tetap terpidana.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka di JAM Pidsus, Selasa (25/8), tim penyidik sudah sempat memeriksa Djoko. Pada saat pemeriksaan tersebut, sebagai terpidana, dan tersangka di Bareskrim, ia tetap diwajibkan mengenakan rompi tahanan.
Saat turun dari mobil tahanan, Djoko tak diborgol. Djoko, melenggang jalan ke ruang pemeriksaan di Gedung Bundar, menolak jawab semua pertanyaan wartawan, dengan mengipas-ngipaskan map merah muda dibawa-bawa.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka kejaksaan, JAM Pidsus kembali memeriksa Djoko, pada Senin (31/8). Ketika itu, Djoko datang ke Gedung Pidsus mengenakan kemeja batik cokelat.
Rompi tahanan yang menutup kemejanya, pun hanya sekadar dikenakan. Tak ada yang dikancing. Lagi-lagi, dua tangan Djoko bebas melenggang mengikuti alur langkahnya, karena tak diborgol.
Tim penyidik, kembali memeriksa Djoko, Senin (14/9) bersamaan saat pemeriksaan keempat Pinangki. Jaksa penyidik menjemputnya dari LP Salemba.
Tiba di Gedung Bundar, pun Djoko tanpa diborgol meski tetap mengenakan rompi tahanan. Seusai diperiksa selama empat jam, Djoko keluar dengan rompi tahanan yang tak terkancing, dan tetap tak ada borgol yang membatasi gerak kedua tangannya.
Respons Kejakgung
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono, tak menggubris pertanyaan soal perlakuan beda antara Pinangki dan Djoko soal borgol-memborgol ini. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ali Mukartono pun mengaku tak tahu tentang adanya perbedaan antara tersangka Pinangki yang kerap diborgol, dan Djoko Tjandra yang tak diborgol saat proses penyidikan.
Namun Ali menerangkan, pengekangan setiap tersangka dengan cara diborgol saat pemeriksaan itu, memang tak ada kewajiban, dan keharusan. Pun kata Ali, masalah pemborgolan tersangka itu, memang subjektif dari tim penyidikan.
“Itu urusannya penyidik. Itu kan (memborgol tersangka) enggak ada aturan, wajib (diborgol) begitu,” kata Ali, saat ditemui di Gedung Pidsus, Selasa (15/9) malam.
Tetapi Ali mengakui, dengan cara memborgol tersangka, saat masuk, dan keluar, ataupun dalam proses pemeriksaan di ruangan penyidikan, memang akan lebih meminimalisir risiko, ataupun bahaya, seperti perlawanan fisik. Meskipun, kata Ali, pemborgolan tersangka itu, tak ada keharusannya juga.
“Kalau diborgol lebih aman. Tetapi wajib diborgol itu enggak ada,” terang Ali menambahkan.
Ketika ditanya, apakah sebagai pejabat tertinggi di JAM Pidsus, ia tak menginstruksikan penyidiknya untuk selalu memborgol Djoko Tjandra, saat pemeriksaan, Ali mengatakan, tak mengurusi hal teknis semacam itu. “Tapi tanya ke pelaksana (penyidik) lah. Saya enggak ngurusin itu,” kata Ali.
Akan tetapi, mengacu Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia PER-005/A/JA/03/2013, menyebutkan soal kewajiban memborgol tersangka saat proses penyidikan. Pasal 5 ayat (4) menebalkan keharusan pengawalan dan penahanan, setiap tersangka yang sudah ditahan, wajib untuk diborgol. Kecuali, terhadap tersangka, maupun tahanan anak-anak.