REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja sudah hampir rampung. Hanya saja, ia tidak menyebutkan kapan beleid ini bisa selesai 100 persen.
Airlangga menjelaskan, pembahasan rancangan beleid ini setidaknya tinggal 10 persen. "Sudah kita lakukan pembahasan sampai sekarang sudah 90 persen dibahas," katanya, dalam Sarasehan 100 Ekonom secara virtual, Selasa (15/9).
Beberapa isu strategis, seperti Ketenagakerjaan, Sovereign Wealth Fund (SWF) hingga terkait UMKM dan koperasi pun disebutkan Airlangga sudah mendapatkan respon positif dari DPR. Seluruh partai politik telah menyatakan persetujuannya pada beleid RUU Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja sendiri memiliki 11 klaster yakni simplifikasi lisensi, persyaratan investasi, pekerjaan, kemudahan, penguatan, dan perlindungan UMKM. Kemudian juga kemudahan berbisnis, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintah, pengenaan sanksi, akuisisi lahan, proyek dan investasi pemerintah, serta zona ekonomi.
Saat ini, pemerintah bersama DPR tinggal mengejar proses finalisasi legal drafting. "Atau sering kita sebut, harmonisasi pasal-pasal krusial dan sinkronisasi dan perumusan," ucap Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Fraksi PKS Anis Byarwati menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja masih memiliki beberapa titik kelemahan. Salah satunya, penjelasan mengenai arah beleid yang masih terlampau minim.
Anis menuturkan, pemerintah kerap mengumandangkan ‘perbaikan iklim investasi’ tanpa memberikan penjelasan yang komprehensif dan konkrit. "Mereka tidak menerangkan secara detail bagaimana Omnibus Law tersebut berjalan memperbaiki roda perekonomian Indonesia," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (6/8).
Pemerintah menganggap Omnibus Law diperlukan untuk menstimulasi perekonomian nasional yang terhempas krisis, terlebih di tengah pandemi Covid-19. Tapi, Anis menilai, perlambatan ekonomi Indonesia sekarang tidak bisa diselesaikan dengan hanya regulasi. Sebab, permasalahannya sudah terletak kepada hal yang lebih mendasar.
Di antara permasalahan yang ada, Anis menyebutkan, rendahnya produktivitas tenaga kerja menjadi isu paling utama. Merujuk pada laporan Indeks Kompetisi Global yang dirilis di World Economic Forum (WEF) pada tahun lalu, kemampuan pekerja Indonesia berada di peringkat ke 65 dari 141 negara dengan skor 64.
Peringkat tersebut, kata Anis, kalah dari negara tetangga seperti Malaysia yang berada di peringkat ke 30 dengan skor 72.5. Meskipun, kabar baiknya, Indonesia masih unggul dari Thailand dan Vietnam yang berada di peringkat 73 dan 93.