Jumat 11 Sep 2020 23:03 WIB

Revisi UU Kejaksaan Dinilai Cegah Aparat Jadi Alat Politik

Akademisi menilai revisi UU Kejaksaan untuk cegah aparat jadi alat politik.

Rep: Rizkyan adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
Indriyanto Seno Adji (kiri)
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Indriyanto Seno Adji (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Pidana Ilmu Hukum Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji menilai Revisi Undang-Undang Kejaksaan yang dapat mencegah penegak hukum menjadi alat politik. Dia mengatakan, RUU menyebutkan bahwa penegakan hukum akan mengutamakan Sistem Pengawasan Kewenangan sehingga terwujud sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System/ICJS).

"Sesuai harapan masyarakat dan bertujuan untuk lebih melayani para pencari keadillan, melindungi dan menjaga demokrasi, mencegah penegak hukum jadi alat politik," kata Indriyanto dalam keterangan, Jumat (11/9).

Baca Juga

Revisi yang dimaksud yaitu pasal 30 ayat 5 yang mengatur wewenang dan tugas Kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi, kewenangan selaku intelijen penegakan hukum, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum.

Selain itu, pengawasan peredaran barang cetakan dan multimedia, pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penyadapan dan menyelenggarakan pusat monitoring.

 

Indriyanto mengatakan, pasal-pasal dalam revisi UU Kejaksaan masih dalam batas linear sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System). Dia melanjutkan, revisi UU tersebut, filosofis, yuridis dan juga sisi segi hukum tata negara dan hukum pidana memiliki dua aspek yg tidak menyimpangi prinsip due process of law, dan masih dalam batas koridor linear ICJS.

Dia mengatakan, sistem hubungan wewenang penyidikan-penuntutan dalam revisi UU itu justru berkarakter Hukum Pidana modern yang mengakui adanya pemisahan, separation Institution of Sharing Powers (Distribution of Powers) antara Polisi dan Kejaksaan, termasuk bentuk tugas dan fungsi kewenangan pro justitia. Selain itu, sambung dia bahwa pemahaman relasi wewenang sistem penyidikan dan penuntutan yang terpisah secara absolut sebaga model separation of power sudah ditinggalkan karena dianggap sebagai definisi tirani dan menyesatkan.

"Karena itu distribusi kewenangan pada ICJS adalah legitimatif terhadap prinsip koordinasi dan kooperasi antara dua pilar penegak hukum, polisi dan jaksa). Model ini meminimalisasi ego sektoral antara dua lembaga," katanya.

Seperti diketahui, DPR saat ini tengah membahas revisi UU Kejaksaan. Namun revisi itu menuai polemik karena dikhawatirkan akan terlalu menguatkan Kejaksaan Agung (kejagung). Revisi itu dinilai akan memberikan wewenang kepada kejagung dari hulu hingga hilir.

Indriyanto menilai bahwa munculnya polemik ada tidaknya perluasan wewenang projustitia kejaksaan merupakan hal yang wajar. Dia mengatakan, asalkan wewenang itu tetap dalam sistem pengawasan dari lembaga hakim pemeriksa pendahuluan sebagai garda pengawasan justisial, karena itu RUU Kejaksaan harus menyesuaikan dan tidak menyimpang dari RKUHAP.

Indriyanto menambahkan, andaikata benar ada perluasan wewenang pro justitia, model distribution of powers ini harus tetap berbasis checks and balances system. "Sehingga prinsip equal arms antara Polisi dan Jaksa tetap terjaga, misalnya model koordinasi yang baik antara pilar penegak hukum," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement