REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi menilai kampanya dengan mengerahkan massa secara masif merupakan cara yang ketinggalan zaman. "Kita sudah masuk zaman, apa pun yang kita butuhkan datang ke rumah, tinggal ngeklik. Apa pun yang kita butuhkan," kata Jojo Rohi saat diskusi virtual "Pilkada Sehat dan Covid-19: Siapa Peduli?" di Jakarta, Selasa (8/9).
Jojo mengatakan, pengerahan massa saat pilkada merupakan ajang show of force atau unjuk kekuatan bagi pasangan calon sekaligus mendongkrak popularitas. Namun, kata dia, menggunakan massa secara offline sebagai satu-satunya cara untuk show of force pada zaman sekarang ini adalah cara yang ketinggalan zaman.
Apalagi, kata Jojo, kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini tidak memungkinkan dan tidak tepat untuk mengumpulkan massa dalam jumlah besar dan masif. Seiring dengan perkembangan teknologi, lanjut dia, massa secara virtual sekarang ini menjadi lebih signifikan ketimbang massa offline.
"Tergantung pada kreativitas tim kampanye dalam menggunakan massa virtual atau online. Caranya, media massanya yang datang ke rumah-rumah, bukan publik yang dipaksa ikut kampanye," katanya.
Jojo mengatakan saat tahapan pendaftaran bakal pasangan calon pilkada beberapa waktu lalu sudah menunjukkan hilangnya kontrol atau kendali atas situasi dengan banyaknya pengerahan massa. "Saat pendaftaran, kita kehilangan kobtrol kendali atas situasi. Saya khawatir pada tahapan kampanye karena paling berpotensi besar melibatkan massa," katanya.
Di sisi lain, kata dia, Satgas Penanganan Covid-19 sebenarnya yang memiliki peranan untuk "menginjak rem" karena mereka paling jelas berkompeten memberikan kode merah, kuning, atau hijau terkait dengan penyebaran Covid-19 di daerah. "Kompetensi dan kewenangan 'menginjak pedal rem' adalah satgas. Namun, 'pedal gas' juga sedang diinjak oleh parpol. Satgas mau nginjak pedal rem tetapi gas terus diinjak 'kan problem juga," pungkas Jojo.