REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta memutuskan memperpanjang masa tanggap darurat COVID-19 hingga 30 September. Selama perpanjangan masa tanggap darurat, Pemkot Yogyakarta akan fokus pada upaya “tracing” serta “blocking” terhadap kasus yang sudah muncul supaya tidak semakin menyebar.
“Ukurannya, selama masih ada kasus di rumah sakit dan ada kasus yang berkembang di masyarakat, maka status tanggap darurat akan diperpanjang,” kata Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi di Yogyakarta, Rabu (2/9).
Menurut dia, dengan menyandang status tanggap darurat maka respon terhadap perkembangan kasus Covid-19 di Yogyakarta bisa dilakukan lebih cepat. Terlebih, lanjut Heroe, perkembangan kasus Covid-19 di Kota Yogyakarta dalam satu bulan terakhir didominasi oleh kasus tanpa gejala.
“Artinya, masyarakat tidak merasa mereka membawa virus tetapi bisa menularkannya ke orang lain. Masa-masa seperti ini yang justru lebih berbahaya dibanding pada awal Maret atau April saat masih banyak kasus dengan pasien yang bergejala,” katanya.
Peningkatan kasus tanpa gejala di masyarakat tersebut, lanjut dia, juga berpengaruh pada tingginya penularan yang terjadi di keluarga dan lingkungan kerja. Salah satunya adalah kasus penularan Covid-19 yang terjadi di sebuah warung soto, bahkan kasus di warung tersebut sudah ditetapkan menjadi klaster penularan baru.
Dari warung soto tersebut hingga saat ini sudah ada 13 warga yang terkonfirmasi positif Covid-19, seluruhnya adalah keluarga dan karyawan yang bekerja di warung tersebut dan tinggal berdekatan. Dalam satu bulan terakhir, Heroe yang juga menjabat sebagai Ketua Harian Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Yogyakarta, menyebut terdapat tujuh kasus penularan dalam keluarga yang sebagian besar tidak menunjukkan gejala apapun.
“Di keluarga memang cukup rentan terjadi penularan, apalagi jika tidak ada gejala sakit apapun yang ditunjukkan. Makanya, protokol Covid-19 harus dijalankan secara disiplin,” katanya.