Rabu 02 Sep 2020 08:01 WIB

Bawaslu Antisipasi Pemalsuan Dokumen Saat Pendaftaran Calon

Dokumen atau keterangan palsu syarat pencalonan jadi titik rawan potensi pelanggaran.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andi Nur Aminah
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (kanan)
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, dokumen atau keterangan palsu syarat pencalonan menjadi titik rawan potensi pelanggaran dalam pelaksanaan tahapan pencalonan Pilkada 2020. Dokumen yang kerap dipalsukan antara lain ijazah.

"Dan tidak menutup kemungkinan dokumen-dokumen lainnya, misalnya surat keterangan sehat," ujar Ratna dalam rapat koordinasi pencalonan Pilkada 2020 yang disiarkan daring, Selasa (1/9).

Baca Juga

Ia mengatakan, Bawaslu dapat memastikan bahwa dokumen-dokumen tersebut patut diduga palsu. Ia berharap, ada keterbukaan akses bagi jajaran pengawas pemilu untuk bisa melihat secara langsung dokumen-dokumen yang disertakan dalam tahapan pencalonan.

Sebab, jika tidak dibuka aksesnya tentu jajaran Bawaslu tidak akan mudah memastikan tidak terjadi perbuatan pemalsuan dokumen dalam syarat pencalonan dan calon. Dengan demikian, kata Ratna, butuh koordinasi dan kerja sama yang baik sesama penyelenggara pemilu baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota antara KPU dan Bawaslu.

Selain itu, ada titik rawan potensi masalah dalam pelaksanaan tahapan pencalonan pilkada lainnya. Ratna menyebutkan, sering kali terjadi situasi ketika bakal calon mendaftarkan diri pada detik-detik terakhir pendaftaran ditutup.

Hal ini menimbulkan masalah, karena KPU provinsi maupun kabupaten/kota ada yang bersikap menolak atau menerima pendaftaran bakal calon tersebut. Ratna mengatakan, sikap demikian berpotensi terjadinya sengketa pada saat pascapendaftaran calon atau potensi pelanggaran admnistrasi.

Titik rawan berikutnya terkait konflik kepengurusan partai politik. Ratna mengira titik rawan ini berpotensi kecil akan muncul di Pilkada 2020 karena tidak ada lagi kepengurusan yang ganda.

"Dan yang paling menjadi pekerjaan berat buat kita dan kita berharap ini tidak terjadi tetapi potensinya tetap, adalah soal pemberian imbalan dalam proses pencalonan," kata Ratna.

Imbalan tersebut sering lazim disebut mahar politik. Bakal paslon kerap harus menyerahkan imbalan kepada partai untuk mendapatkan rekomendasi yang bersangkutan dapat maju dalam pemilihan. "Saya kira potensi ini masih ada sampai pada injury time, tanggal terakhir pendaftaran calon. Saya kira potensi ini akan semakin besar ketika hari-hari terakhir pendaftaran paslon," lanjut dia.

Menurut Ratna, bakal calon kepala daerah akan berusaha keras untuk mendapatkan partai sebagai "perahu" untuk maju menjadi calon kepala daerah. Salah satunya dengan memberikan imbalan kepada parpol demi diusung menjadi calon dari partai tersebut, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement