REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Uji usap dengan pemeriksaan laboratorium menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan tes usap (swab test) telah menjadi standar pemeriksaan Covid-19 di berbagai negara. Para pakar di Indonesia juga merekomendasikannya karena keandalannya.
Lantas, mengapa Indonesia masih menjadikan tes cepat sebagai syarat untuk bepergian dengan menggunakan pesawat atau kereta api? Menurut dr Vito A Damay dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Junior Doctor Network (JDN) Indonesia, rapid test dilakukan untuk melacak keberadaan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
"Jadi, bukan untuk diagnostik. Karena kita ketika akan bepergian keluar kan tidak tahu (dalam kondisi) sehat atau tidak," ujarnya saat berbicara dalam konferensi pers virtual Badan Nasional Penanggulangan Bencana bertema "Kupas Tuntas Adaptasi Kebiasaan Baru", Sabtu (29/8).
Pada Juni lalu, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko mengatakan, pemeriksaan spesimen untuk mendeteksi Covid-19 menggunakan metode PCR idealnya satu persen dari jumlah penduduk. Handoko menuturkan jika DKI Jakarta dengan populasi 10 juta penduduk, maka pemeriksaan Covid-19 idealnya dilakukan pada 100 ribu orang.
Dalam kesempatan terpisah, anggota tim komunikasi publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro menjelaskan, tidak mungkin seluruh penduduk Indonesia menjalani tes usap dengan PCR. Saat konferensi pers update Covid-19, di akun Youtube Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sabtu (20/6), ia menyebut tidak semua orang pula perlu menjalani tes cepat.
"Populasi kita sekitar 270 juta orang dan tersebar di belasan ribu pulau. Indonesia besar dan luas, jadi kita harus cermat menggunakan sumber daya kita," tuturnya.
Tes cepat, menurut Reisa, diperlukan sebagai basis data epidemiologi seberapa banyak masyarakat di Indonesia yang telah dan sedang terkena Covid-19. Di samping itu, tes cepat dapat menekan beban biaya sistem kesehatan.
Vito menyebut, sensitivitas tes cepat memang tidak terlalu baik dan tidak bisa dijadikan alat diagnostik pasti. Namun, tes ini dapat menjadi alat pelacakan atau skrining orang ini kemungkinan tertular virus.
Menurut Vito, syarat melampirkan hasil tes ini masih masih diperlukan. Bahkan, ia sebagai petugas kesehatan mengaku rutin menjalani rapid test meski tidak berencana bepergian.
"Karena saya mau menjaga, pasien juga terlindungi. Rapid test memang harus sering dilakukan pada orang-orang tertentu, seperti tenaga medis," katanya seraya mengajak semua pihak saling mendukung penyelenggaraan tes ini.
Vito juga menyerukan masyarakat mematuhi anjuran di rumah saja dan tidak keluar rumah jika bukan dalam kondisi mendesak. Ia menjelaskan bahwa langkah ini penting dilakukan untuk mencegah penularan.