Jumat 28 Aug 2020 00:05 WIB

Soal Gugatan RCTI dan iNews, Pengamat: Tidak Tepat

Penyiaran di televisi dan platform berbasis adalah dua hal yang berbeda.

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Enda Nasution
Foto: Republika/Prayogi
Enda Nasution

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua stasiun televisi swasta, RCTI dan iNews menggugat, UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya meminta setiap siaran yang menggunakan internet, seperti YouTube hingga Netflix, tunduk pada UU Penyiaran. Jika gugatan ini diterima, masyarakat tidak lagi bebas memanfaatkan fitur siaran dalam platform media sosial. 

Pengamat media sosial Enda Nasution menilai, gugatan yang dilayangkan RCTI dan iNews tidak tepat. Sebab, menurutnya, penyiaran di televisi dan platform berbasis adalah dua hal yang berbeda.

"Gugatannya kurang tepat ya. Karena penyiaran yang dimaksud ini kan definisi dari broadcasting itu adalah menggunakan frekuensi publik," tegas Enda saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (27/8).

Sehingga, lanjut Enda, media televisi, radio diatur dalam Undang-undang Penyiaran. Sedangkan, jika berbicara penyiaran yang menggunakan menggunakan data atau internet maka tidak ada ruang publik yang perlu diregulasi.

Memang, kata Enda, mungkin siaran di media sosial bakal menggeser televisi, terutama dari aspek hiburan. "Tapi bukan itu isunya, tapi mana yang perlu diregulasi dan mana tidak pada tempatnya untuk diregulasi. Aturan yang sudah ada aja," tutut Enda.

Selain dapat mengancam kebebasan berekspresi, menurut Enda, gugatan tersebut juga bisa menghambat kemudahan orang untuk berkomunikasi. Apalagi sekarang ini beberapa platform media sosial, seperti Zoom, Youtube, Instagram, dan lainnya tidak hanya digunakan untuk hiburan semata, tapi juga dimanfaatkan oleh para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) memperkenalkan atau memasarkan produknya.

"Menurut saya, gugatan keduanya itu bisa menyasar lebih luas lagi, tidak hanya soal live di media sosial. Kita harus kawal proses dan putusannya," kata Enda.

Sebelumnya, MK pada bulan Juni 2020 silam menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Para Pemohon melakukan pengujian materiil UU Penyiaran Pasal 1 angka 2. Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena menyebabkan adanya pelakukan yang berbeda (unequal treatment). 

Perlakuan berbeda tersebut terjadi antara para pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran. 

“Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” kata salah satu kuasa hukum para pemohon, Imam Nasef. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement