REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengukuhkan empat penelitinya lagi menjadi profesor riset. Mereka memiliki bidang kepakaran berbeda yakni elektronika, agama dan tradisi keagamaan, sosiologi umum, dan bioproses.
"Pengukuhan dari empat profesor riset di LIPI yang baru ini merupakan Profesor Riset 143, 144, 145, dan 146. Empat profesor riset yang baru ini adalah para peneliti terbaik di LIPI yang telah mengabdikan dan mendedikasikan karirnya," kata Kepala LIPI Laksana Tri Handoko dalam acara Orasi Virtual Pengukuhan Profesor Riset LIPI, Jakarta, Kamis (27/8).
Empat Profesor Riset itu adalah Goib Wiranto dari Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi. Ahmad Najib Burhani dari Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya. Cahyo Pamungkas dari Pusat Penelitian Kewilayahan. Terakhir, Dwi Susilaningsih dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Goib Wiranto dalam orasi pengukuhan profesor risetnya yang berjudul Pengembangan Sensor Berbasis Teknologi Mikroelektronika untuk Pemantauan Pencemaran Lingkungan. Dia mengatakan perkembangan teknologi fabrikasi sensor pencemaran lingkungan berbasis teknologi thick-film, thinfilm dan micromachining/MEMs.
"Teknologi micromachining dan thin-film bisa dimanfaatkan untuk fabrikasi sensor gas, serta teknologi thick-film dimanfaatkan untuk fabrikasi sensor kualitas air," kata Goib.
Dalam orasi pengukuhan profesor riset yang berjudul Agama, Kultur (In)Toleransi, dan Dilema Minoritas di Indonesia, Ahmad Najib Burhani menuturkan empat rekomendasi untuk mengatasi problematika dan dilema minoritas di Indonesia.
Empat rekomendasi itu adalah penekanan dan pendekatan hak asasi manusia, penekanan tentang adanya kewarganegaraan yang setara (non-differentiated citizenship) tanpa dibedakan berdasarkan agama atau etnis, pendekatan teologis atau keagamaan serta pendidikan perdamaian, dan pemberlakukan kebijakan non-diskriminatif .
Sementara, Cahayo Pamungkas menyampaikan orasi ilmiah dalam pengukuhan profesor risetnya yang berjudul Rekonstruksi Pendekatan dalam Kajian Konflik di Asia Tenggara: Kasus Indonesia, Filipina, Thailand, dan Myanmar.
Cahyo mengatakan pendekatan yang memandang bahwa identitas etnis dan agama merupakan sumber utama dari intoleransi, radikalisme dan konflik sosial perlu direkonstruksi kembali.
"Pendekatan dalam kajian konflik perlu melihat dan memusatkan perhatiannya pada ekosistem konflik termasuk relasi dominasi dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik yang mengakibatkan deprivasi relative," kata Cahyo.
Profesor Riset Dwi Susilaningsih menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul Energi Masa Depan Generasi Tiga Berbasis Mikroba Fotosintetik dan Mikroalga.
Dwi menuturkan jumlah kebutuhan yang meningkat dan laju jumlah penduduk yang tinggi di Indonesia menuntut adanya alternatif energi yang baru, terbarukan, dapat berdaur ulang cepat, dan ramah lingkungan.
"Biofuel dari generasi tiga sangat berpotensi dikembangkan sebagai energi baru terbarukan di Indonesia karena ketersediaan sumber daya genetik yang melimpah, perairan yang luas, cahaya matahari sepanjang tahun dan fluktuasi suhu yang rendah antara siang dan malam," kata Dwi.