REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Zainal Arifin mengatakan pencemaran parasetamol di lingkungan dengan paparan jangka panjang mengakibatkan gangguan fungsi reproduksi atau gonad pada kerang laut, khususnya kerang biru. Hal tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wulan Koagouw, Nicolas A Stewart, dan Corina Ciocan.
Hasil penelitian Koagouw dkk telah dipublikasikan dengan judul Long-term exposure of marine mussels to paracetamol dalam jurnal Environmental Science & Marine Pollution pada 2021. "Paparan jangka panjang dengan konsentrasi rendah dan tinggi menyebabkan gangguan reproduksi dalam hal ini gonad pada jenis kerang biru," kata Zainal dalam Sapa Media virtual yang diselenggarakan BRIN di Jakarta, Senin (4/10).
Zainal menuturkan belum diketahui apakah ada dampak pencemaran parasetamol di lingkungan perairan terhadap manusia. Itu membutuhkan penelitian. "Apakah berpengaruh kepada manusia? Belum tahu, mungkin sangat kecil pengaruhnya," ujar Zainal.
Kerang adalah organisme indikator yang sangat baik untuk pemantauan lingkungan dan telah digunakan secara intensif di seluruh dunia untuk memantau pencemaran laut, karena kerang hidup menetap. Riset berbasis eksperimen di laboratorium tersebut mencari tahu dampak pemaparan parasetamol terhadap kerang biru Mytilus edulis yang dikumpulkan dari satu populasi yang terletak di Hove Beach, East Sussex, Inggris.
Hanya kerang dengan panjang antara 30 dan 50 milimeter yang digunakan dalam eksperimen pemaparan parasetamol selama 24 hari. Kerang diberikan tiga perlakuan dengan konsentrasi parasetamol yang berbeda-beda yakni 40 nanogram per liter (ng/L), 250 ng/L, dan 100.000 ng/L.
Salah satu hasil penelitian menunjukkan pemaparan parasetamol telah menyebabkan atresia atau gangguan jaringan gonad sebagai organ reproduksi pada kerang. Karena itu, pencemaran parasetamol terhadap lingkungan laut dapat memberikan dampak gangguan reproduksi pada kerang.
Peneliti Oseanografi BRIN Dr Wulan Koagouw yang melakukan riset itu, mengatakan, hasil penelitian menunjukkan keberadaan parasetamol di lingkungan bahkan pada konsentrasi rendah berpotensi menyebabkan beberapa perubahan besar terkait sistem reproduksi kerang. Akibat pemaparan parasetamol, kerang mengalami degenerasi pada folikel dan gamet, yang menimbulkan risiko terhadap kemampuan reproduksi organisme tersebut, dan bisa memunculkan dampak potensial pada kelangsungan hidup populasi.
Wulan menuturkan hasil menarik dari penelitian itu adalah mengkonfirmasi potensi efek merusak parasetamol bahkan pada tingkat kontaminasi yang lebih rendah. Secara keseluruhan, hasil riset tersebut menyajikan gambaran yang mengkhawatirkan yang menunjukkan konsentrasi parasetamol serendah 40 ng/L dapat menyebabkan efek samping yang hampir sama yang disebabkan oleh konsentrasi 2.500 kali lebih tinggi, dengan skenario paparan yang lama.
Wulan yang sedang melakukan pascadoktoral di Inggris mengatakan dari pemaparan jangka panjang selama 24 hari, efek terhadap gangguan reproduksi bisa muncul pada level yang sama pada kerang biru baik yang terkena paparan parasetamol dengan konsentrasi rendah 40 ng/L maupun pada konsentrasi tinggi 100.000 ng/L. "Menariknya adalah pada pemaparan jangak panjang ini, efek yang bisa kita lihat pada konsentrasi yang paling rendah 40 ng/L sama dengan efek yang bisa kita lihat pada 100.000 ng/L," ujar peneliti bidang ekotoksikologi itu.
Sebelumnya, para peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan kandungan tinggi parasetamol sebesar 610 nanogram per liter di Angke dan di Ancol mencapai 420 nanogram per liter. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta menguji sampel air laut di Ancol dan Muara Angke, Jakarta Utara, untuk menindaklanjuti hasil riset kandungan parasetamol konsentrasi tinggi di kawasan tersebut.