REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah salah satu bentuk upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Kebijakan ini banyak diterapkan oleh berbagai negara dengan potensi sumberdaya hutan yang luas. Di Indonesia pelibatan masyarakat ini dikenal dengan konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang akhirnya berkembang menjadi perhutanan sosial.
“Tahun 1980 terjadi deforestasi besar-besaran dan perubahan kebijakan pengelolaan hutan. Muncul kesadaran bahwa hutan itu bukan hanya kayu tapi ada juga manusianya, aspek sosial dan antropologinya. Momen inilah yang memulai konsep community based forestry atau perhutanan sosial,” ungkap Dr Yurdi Yasmi, direktur International Rice Research Insitute (IRRI) Asia Tenggara, yang juga alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University, dalam sebuah acara pengkajian kehutanan belum lama ini.
Diskusi terfokus pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat khususnya pada penerapan konsep perhutanan sosial. Topik ini dianggap sebagai salah satu isu penting dalam perkembangan pengelolaan hutan di Indonesia dan dunia.
Dr Yurdi Yasmi menjelaskan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan awalnya hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Tujuan ini terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan lingkungan hutan. Misalnya masyarakat didorong untuk melakukan konservasi dan melakukan rehabilitasi hutan yang sudah terdegradasi.
“Social Forestry juga bertujuan untuk mengurangi konflik sosial dengan masyarakat lokal sekitar hutan dan mengurangi dampak perubahan iklim. Selain itu juga untuk mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan pendapatan masyarakat atau menyediakan lahan untuk ditanami bahan makanan kebutuhan masyarakat,” ungkapnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Menurutnya, ada beberapa negara yang bisa dijadikan contoh dalam hal implementasi perhutanan sosial. Afganistan misalnya, menerapkan perhutanan sosial karena degradasi hutan dijadikan sebagai lahan pertanian dan padang gembala. Negara ini akhirnya bisa melakukan pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk perlindungan keanakeragaman hayati dan meningkatkan produktivitas padang gembala.
Negara lain yang bisa dijadikan referensi dalam perhutanan sosial adalah Nepal dan Korea utara. Kedua negara ini mampu mengintregasikan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan hutan dan lahan. Program yang dibuat juga berdasarkan usulan-usalan dari masyarakat dan bersifat partisipatif. Selain itu juga dibuat platform untuk melakukan kerjasama multipihak. Khusus untuk Nepal, perhutanan sosialnya juga didukung untuk pemberdayaan perempuan.
“Di Nepal pada tahun 2000, masyarakat yang ikut mengelola hutan hanya sebanyak 18,4 persen dan pada tahun 2013 naik menjadi 32 persen. Jumlah ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Community forestry ini terbukti bisa menjadi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi degradasi lahan hutan,” tutup Dr Yurdi Yasmi.