Senin 24 Aug 2020 17:19 WIB

Kebakaran Kejakgung, Damkar DKI Belum Ideal

Damkar DKI butuh waktu lama memadamkan kebakaran Kejakgung.

Sejumlah petugas pemadam kebakaran beristirahat secara bergantian dari tugas memadamkan kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung di Jakarta, Minggu (23/8/2020). Kebakaran yang berawal sejak Sabtu (22/8) malam itu masih dalam penanganan pihak pemadam kebakaran hingga Minggu pagi. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA
Sejumlah petugas pemadam kebakaran beristirahat secara bergantian dari tugas memadamkan kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung di Jakarta, Minggu (23/8/2020). Kebakaran yang berawal sejak Sabtu (22/8) malam itu masih dalam penanganan pihak pemadam kebakaran hingga Minggu pagi. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho menilai standar peralatan pemadam kebakaran (Damkar) di Ibu Kota belum ideal. Terutama setelah melihat dari kasus pemadaman kebakaran di Kantor Kejaksaan Agung (Kejakgung) yang berlangsung lama.

"Bisa dilihat dari cepatnya kebakaran yang terjadi dan lamanya penanganan kebakaran tersebut," kata Teguh, Senin (24/8).

Baca Juga

Penilaian ini berdasarkan hasil rapid assessment tahun 2019 yang dilakukan Ombudsman Jakarta Raya terkait tata kelola penanganan kebakaran oleh Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta. Ada empat catatan Ombudsman, yakni pertama masih minimnya tenaga (petugas) pengawasan fasilitas kebakaran dan keamanan gedung dalam menghadapi kebakaran.

"Minimnya petugas ini menyebabkan tidak optimalnya pengawasan terhadap kesiapsiagaan gedung-gedung di Jakarta dalam menghadapi kebakaran," ujar Teguh.

Lebih lanjut Teguh mengatakan, ada kecenderungan gedung pemerintah memiliki standar keamanan gedungnya dari kebakaran lebih minim daripada gedung swasta. Terutama potensi kebakaran dari korsleting listrik akibat pengelolaan jaringan listrik yang buruk.

"Pengawasan ini akhirnya diserahkan kepada masing-masing pengelola gedung," ujarnya.

Selain itu, pengawas gedung oleh Damkar DKI Jakarta terkait kesiapsiagaan dalam menghadapi kebakaran dilakukan secara acak (random). Potensi kedua, dari sisi peralatan dan personel Damkar DKI secara proporsional belum mencapai angka ideal untuk penanganan kebakaran.

"Sebagai kota megapolitan yang setara dengan New York, SDM dan fasilitas kita jauh dibanding New York," katanya.

Ombudsman juga menyoroti, status tenaga Damkar di DKI Jakarta yang mayoritas merupakan tenaga honorer dengan beban kerja dan risiko kerjanya tinggi, tapi pendapatannya (honor) sama dengan tenaga kebersihan dan pramubakti kantor PPSU atau PJLP. "Untungnya, pelatihan standar kemampuan mereka tetap diasah di Pusdiklat Damkar DKI," ujar Teguh.

Selanjutnya, yang ketiga adalah potensi air yang masih dikelola swasta menyebabkan penggunaan air bersih yang tidak menguntungkan seperti banyak hidran yang tidak teraliri air.

Kondisi ini, lanjut Teguh, saat dibutuhkan, jumlah dan tekanan air tidak memadai untuk memadamkan api pada saat kebakaran terjadi. Yang keempat, terkait layanan 112 untuk pelaporan kebakaran, walau sudah terintegrasi, tapi mekanisme koordinasinya masih konvensional, dalam artian telpon ke 112 tidak langsung terhubung ke Damkar. Petugas 112 tetap menelpon ulang ke tim Damkar DKI dan menyebabkan waktu tunggu (delay time) masih tinggi.

"Padatnya lalu lintas di Jakarta yang meyebabkan lambatnya penanganan kebakaran, selain belum berfungsinya komunitas perbantuan kebakaran di kelurahan-kelurahan," ujar Teguh.

Di akhir penjelasannya, Teguh menyampaikan, Ombudsman Jakarta Raya menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan terkait kebakaran yang terjadi di Kantor Kejaksaan Agung.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement