Jumat 21 Aug 2020 15:31 WIB

Pemerintah Disarankan Benahi Aturan Otsus Papua

Otsus Papua dinilai belum berhasil meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus raharjo
Kondisi sekolah di Papua yang masih tertinggal (ilustrasi).
Foto: kebebasaninformasi.org
Kondisi sekolah di Papua yang masih tertinggal (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas menilai, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) banyak yang tumpang tindih dengan UU sektoral. Kekhususan yang diatur UU Otsus Papua tidak sepenuhnya diterapkan dalam undang-undang lainnya.

"Kewenangan-kewenangan khusus pemerintah Papua dan Papua Barat itu banyak direduksi atau banyak dikalahkan oleh undang-undang sektoral," ujar Cahyo saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (21/8).

Menurut dia, perubahan UU Otsus Papua yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2020, harus mencegah terjadinya tumpang tindih dengan peraturan perundang-undang lainnya. Cahyo mengatakan, dalam bidang pendidikan, kualitas pendidikan di Papua dan Papua Barat masih jauh dibandingkan daerah lain di Tanah Air.

Salah satunya, persoalan kekurangan guru. Kebanyakan guru masih lulusan sekolah pendidikan guru (SPG). Sementara, kebijakan nasional mengharuskan guru lulusan sarjana dan lulus sertifikasi guru. Sedangkan, fasilitas, sarana, dan akses terhadap kebijakan itu masih kurang memadai di Bumi Cendrawasih.

Tumpang tindih aturan juga dirasakan di bidang kesehatan. Padahal, dalam UU Otsus Papua disebutkan, perlu adanya kebijakan khusus dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Papua dan provinsi lain, meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua.

"Undang-undang otsus harus ditempatkan di atas undang-undang sektoral, agar tidak terjadi tumpang tindih hukum," kata Cahyo.

Menurut dia, kebijakan otonomi khusus bagi Papua dan Papua Barat belum berhasil. Sebab, berdasarkan penelitian LIPI dan The Asia Foundation, kabupaten/kota yang didominasi penduduk asli Papua menunjukkan rata-rata Indeks Pembangunan Manusia cukup rendah.

"Seperti di Pegunungan Tengah. Pokoknya kalau ada kabupaten yang orang asli Papuanya banyak itu rata-rata Indeks Pembangunan Manusia cukup rendah atau sangat rendah. Kabupaten Tambrauw itu 56, bahkan sama dengan negara di Afrika," lanjut Cahyo.

Selain itu, tingkat kemiskinan juga cukup tinggi. Dengan demikian, menurut Cahyo, otonomi khusus bagi Papua dan Papua Barat berlum berhasil meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua (OAP).

"Rata-rata di daerah mereka itu pendidikan cukup rendah, kesehatan cukup rendah, kemiskinan tinggi. Sebenarnya otsus gagal mengangkat kesejahteraan orang asli Papua," tutur dia.

Sebelumnya, mantan bupati Jayapura, Habel Suwae juga mengakui, setelah hampir 20 tahun Otsus Papua tak menunjukkan perubahan yang signifikan. Dia menilai, tujuan mengejar ketertinggalan dari UU Otsus Papua tersebut tidak tercapai dengan baik.

Menurut dia, jika melihat berdasarkan indikator makro seperti indeks pembangunan manusia, Papua terus tertinggal dari provinsi lain di Indonesia. "Semangat dari perintah UU itu ternyata tertinggal terus. Paling sedikit tiga sampai lima besar (terbawah) tetap tertinggal. Ada kontradiktif. (Otsus Papua) hadir untuk mengejar ketertinggalan, faktanya tetap di nomor-nomor terakhir dari bawah," katanya.

Ia berpendapat, semua pihak harus berkata jujur bahwa permasalahan bukan hanya ada pada uang saja. Ada masalah lain yang ada di Papua pada pemerintah daerahnya maupun di sisi pemerintah pusat.

"Karena itu, marilah sekarang kita jujur berbicara kita punya komitmen untuk kita mulai bagaimana melangkah terus. Saran saya, evaluasi memang diperlukan supaya (ada pandangan) kehendak UU ini dengan kenyataan seperti apa," tuturnya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Maret lalu memerintahkan jajarannya untuk segera mengevaluasi penyaluran dana otsus untuk Papua. Evaluasi menyangkut tata kelola dan efektivitas penyaluran dana otsus selama ini.

Menurut Jokowi, angka dana otsus yang besar menuntut pengelolaan yang transparan dan akuntabel. "Apakah sudah tepat sasaran, output seperti apa, kalau sudah jadi barang, barang apa," kata Jokowi, saat itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement