Kamis 20 Aug 2020 07:15 WIB

Amnesty International: RUU Ciptaker Berpotensi Langgar HAM

Pemerintah berdalih RUU Ciptaker untuk meningkatkan investasi dan mempermudah bisnis.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Agus Yulianto
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid
Foto: Republika/Flori Sidebang
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International menyoroti proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang terus berjalan. Organisasi yang bergerak di bidang hak azasi manusia (HAM) itu menilai Omnibus Law tersebut berpotensi mengancam HAM.

Merujuk pada draf RUU Cipta Kerja, khususnya terkait klaster ketenagakerjaan, Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menyebutkan, RUU tersebut berisi pasal-pasal yang dapat mengancam hak setiap orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan. RUU Sapu jagat itu juga dinilainya bertentangan dengan prinsip non-retrogresi dalam hukum internasional. 

“Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, karena akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Jika disahkan, RUU ini bisa membahayakan hak-hak pekerja,” kata Usman Hamid dalam konferensi pers, Rabu (19/8).

Maka itu, Amnesty meminta pemerintah dan DPR RI mengkaji ulang serta merevisi sejumlah pasal bermasalah dalam Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Amnesty menilain RUU bermasalah baik dalam proses legislatif maupun substansi-nya. 

RUU Ciptaker akan merevisi 79 undang-undang yang dianggap dapat menghambat investasi, termasuk tiga undang-undang terkait ketenagakerjaan: UU Ketenagakerjaan, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional. 

Dalam RUU Ciptaker, undang-undang tersebut akan disusun ulang menjadi 11 klaster yang terdiri dari 1.244 pasal. Pemerintah selalu berdalih bahwa RUU Ciptaker bertujuan untuk meningkatkan investasi dan mempermudah bisnis. 

Namun, Amnesty meyakini, RUU ini justru akan melemahkan perlindungan hak-hak pekerja. Amnesty menilai, secara substansi, RUU Ciptaker tidak sesuai dengan standar HAM internasional. 

Amnesty menyebut, RUU itu dapat merampas hak pekerja atas kondisi kerja yang adil dan menyenangkan yang dijamin dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR). Adapun aspek - aspek yang dimaksud termasuk upah yang adil, upah yang sama untuk beban kerja yang sama, lingkungan kerja yang aman dan sehat, pembatasan jam kerja yang wajar, perlindungan bagi pekerja selama dan setelah masa kehamilan, dan persamaan perlakuan dalam lingkungan kerja.

Adapun yang menjadi sorotan Amnesty di antaranya soal penetapan upah minimum, batas waktu pekerja kontrak (outsourcing) yang diperluas, peningkatkan batas waktu lembur penghapusan sejumlah jenis cuti. 

Sementara dalam prosesnya, Amnesti menilai penyusunan Omnibus Ciptaker tidak terbuka dan tidak transparan. Pemerintah mengklaim telah melibatkan 14 serikat pekerja sebagai bagian dari proses konsultasi publik. Tetapi seluruh serikat pekerja tersebut membantah klaim pemerintah dan menyatakan bahwa mereka tidak pernah dilibatkan sejak awal proses penyusunan.

"Ini berarti tidak ada interaksi yang jujur dan terbuka antara otoritas pemerintah dan kelompok masyarakat terkait penyusunannya," kata Usman Hamid. 

Hingga saat ini, DPR dan Pemerintah masih terus membahas RUU Cipta Kerja. Per hari ini, Rabu (19/8), pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) oleh DPR dan Pemerintah masih terus berlangsung. 

Sementara itu, tim perumus baru saja dibentuk dari unsur buruh dan DPR. Unsur pekerja dalam tim perumus itu mengharapkan agar RUU Cipta Kerja tak buru buru diselesaikan sebelum masukan para buruh diproses.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement