REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Keterlibatan tersangka Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam skandal terpidana Djoko Sugiarto Tjandra, diyakini tak tunggal. Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Kejaksaan Agung (Kejakgung) membongkar habis keterlibatan oknum Kejakgung lainnya yang diduga ikut berperan dalam sepak terjang Pinangki.
Kordinator MAKI Boyamin Saiman pun mengingatkan tim penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), tak ragu menyeret para oknum di Korps Adhyaksa ke penuntutan pidana. “Jangan sampai kasus ini, panas awal-awal, tetapi melempem, kemudian seakan-akan dilupakan saja,” kata Boyamin, Rabu (12/8).
Boyamin salah satu pegiat sipil yang melaporkan Pinangki ke Jampidsus, pun Komisi Kejaksaan (Komjak) terkait dugaan keterlibatan oknum jaksa tersebut, dalam skandal Djoko Tjandra. Dalam pelaporan dan penyampaian alat bukti yang pernah dia serahkan ke Jampidsus, MAKI mencatat adanya dua kali aktivitas Pinangki bertemu dengan Djoko Tjandra di Malaysia.
Pertama, kata dia, pada 12 November 2019 saat Pinangki ke Malaysia menemui Djoko Tjandra bersama seorang pengusaha laki-laki yang diketahui sebagai Rahmad. Pertemuan kedua juga terjadi di Kuala Lumpur, pada 25 November 2019, ketika Pinangki bersama Anita Kolopaking, pengacara Djoko Tjandra.
Menurut Boyamin, aksi Pinangki yang terbang ke negeri jiran menemui buronan korupsi Bank Bali 1999 itu, sebagai perbuatan aktif dalam dugaan tindak pidana korupsi.
Selain itu, Boyamin juga mengungkapkan, adanya dugaan pemberian janji dari Djoko Tjandra kepada Pinangki. Yaitu, berupa imbalan berjumlah besar agar Pinangki membantu proses hukum Djoko Tjandra di Kejakgung, pun juga di Mahkamah Agung (MA). Sebagai terpidana yang sudah divonis MA 2009 dan buron, Djoko Tjandra membutuhkan fatwa MA tentang status hukumnya yang pernah dilepas dari pemidanaan di tingkat peradilan pertama (PN). Pinangki, pun diduga berperan dalam mencari cara agar fatwa MA tersebut, dapat keluar dengan dorongan fatwa dari Kejakgung.
“Imbalan untuk itu, dugaannya nantinya diberikan dengan cara pembelian perusahaan energi yang nilainya sekitar 10-an juta dolar AS. Tetapi kan sudah gagal,” kata Boyamin. Terkait adanya keterlibatan selain Pinangki di Kejakgung, MAKI, kata Boyamin, juga mendapat bukti adanya pembicaraan via telefon antara pejabat tinggi di Korps Adhyaksa, dengan Djoko Tjandra pada 29 Juni 2020.
Kata Boyamin, pembicaraan telepon tersebut, menguatkan dugaan skandal pengaturan di Kejakgung, dalam usaha melindungi Djoko Tjandra untuk bebas masuk ke wilayah hukum Indonesia, meskipun dalam status buronan Kejakgung sendiri. “Dugaan ini sudah saya laporkan untuk ditelusuri juga. Apa sebenarnya isi pembicaraan antara pejabat tinggi di kejaksaan itu, dengan Djoko Tjandra yang saat itu masih buronan, telepon dari Jakarta ke Kuala Lumpur,” terang Boyamin.
Direktur Penyidikan Jampidsus Febrie Adriansyah menerangkan, tersangka Pinangki sementara ini dijerat dengan Pasal 5 ayat (2), juncto Pasal 5 huruf b, dan Pasal 11 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 20/2001. Febrie menerangkan, pasal-pasal tersebut terkait dengan penerimaan, dan pemberian uang, serta janji terhadap penyelenggara negara. Febrie menerangkan, Pinangki merupakan penyelenggara negara di kejaksaan yang menerima imbalan, dan janji terkait dengan perannya sebagai pegawai di Kejakgung.
“Perannya yang jelas, dia (Pinangki) ini (terkait) pengurusan fatwa Kejaksaan Agung,” kata Febrie saat ditemui di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Jakarta, Rabu (12/8).
Namun Febrie, belum mau membeberkan fatwa yang ia maksudkan itu. “Itu nanti dulu lah kita ungkap. Karena itu proses penyidikannya. Yang pasti, itu bukan terkait PK (Peninjauan Kembali),” kata dia.
Febrie menambahkan, penyidik sementara ini, pun meyakini adanya uang senilai 500 ribu dolar AS atau setara Rp 7 miliar, yang Pinangki terima dari Djoko Tjandra sepanjang 2019. “Kalau sudah tersangka, berarti penyidik yakin penerimaan uang itu ada,” ujar Febrie.