Kamis 30 Jul 2020 19:02 WIB

Pedagang di Terminal Lebak Bulus Keluhkan Sepinya Pembeli

Yayak sempat pulang kampung di Tasikmalaya selama empat bulan menjadi kuli cangkul.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Erik Purnama Putra
Yayak, salah satu pedagang di Terminal Lebak Bulus, Jaksel, Kamis (30/7), mengeluhkan sepinya pembeli.
Foto: Shabrina Zakaria
Yayak, salah satu pedagang di Terminal Lebak Bulus, Jaksel, Kamis (30/7), mengeluhkan sepinya pembeli.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum pulihnya aktivitas penumpang di Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan, membuat pedagang warung di sekitarnya harus banting setir menjadi kuli cangkul sawah di kampung halamannya, Tasikmalaya, Jawa Barat. "Ini bukan kerjaan sampingan, tapi terpaksa,” ujar Yayak (52 tahun), salah satu pedagang warung di Terminal Lebak Bulus, Kamis (30/7).

Gara-gara pandemi Covid-19, pedagang warung di sekitar Terminal Lebak Bulus menutup warungnya. Pasalnya, jika pun mereka buka, namun pembeli yang datang bisa dihitung dengan jari. Yayak menuturkan, para pedagang memilih menutup warungnya secara serempak selama empat bulan.

Baru sejak 16 Juli lalu, Yayak yang sempat pulang kampung kembali ke Ibu Kota. Dia tinggalkan istri dan enam anaknya di kampung sampai kondisi Jakarta pulih sebelum pandemi Covid-19. Warung berukuran 1,5x3 meter yang menjual makanan ringan, kopi, camilan, sudah dibukanya kembali.

Sayangnya, meskipun warungnya sudah beroperasi kembali, sejauh ini penghasilan Yayak belum stabil. Dia tetap bersyukur dengan keadaan sekarang. “Alhamdulillah ada lah buat makan mah,” tuturnya.

Hingga saat ini, Yayak hanya mengandalkan warga yang lewat, penumpang Terminal Lebak Bulus yang masih terhitung sedikit, serta sopir bus. Hanya saja, ia tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya lantaran pendapatannya anjlok. “Selama pandemi ini mah enol. Pemasukan enol pisan,” ucap Yayak dengan logat Sunda yang kental.

Selain minimnya pemasukan, Yayak juga tidak mendapatkan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Selama tinggal di kampungnya di Tasikmalaya, ia dianggap bukan sebagai warga yang masuk kategori prasejahtera. Malahan, ketika ia tiba di Jakarta, malah mendapat bansos dari ketua RT. “Tapi waktu ke sini ada dapet sembako, sekali,” kata Yayak, meskipun KTP-nya menunjukkan bahwa ia bukan warga Jakarta.

Terkait pandemi Covid-19, Yayak mengaku, lebih memikirkan nasib anak dan istri di rumah yang pasti mengharapkan kiriman uang. Hanya saja, ia belum bisa mengirim uang lantaran pemasukan dari hasil berjualan juga pas-pasan. Dia pun hanya bisa tabah. “Ini pandemi mah emang, duh, menyakitkan,” tutur Yayak sedih yang mencoba tegar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement