Jumat 31 Jul 2020 00:42 WIB

Anggaran POP Disarankan Digunakan untuk PJJ

Anggaran POP bisa dialihkan untuk pembelian ponsel dan kuota bagi PJJ.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Indira Rezkisari
Siswi kelas 2 SDN 01 Pagi Bukit Duri Keysha belajar daring ditemani ibunya Okta (31) di gerai makanan tempat Ibunya kerja di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Rabu (29/7). Anggaran POP yang capai ratusan miliar rupiah disarankan dialihkan untuk kebutuhan gawai dan internet siswa yang terkendala saat PJJ.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Siswi kelas 2 SDN 01 Pagi Bukit Duri Keysha belajar daring ditemani ibunya Okta (31) di gerai makanan tempat Ibunya kerja di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Rabu (29/7). Anggaran POP yang capai ratusan miliar rupiah disarankan dialihkan untuk kebutuhan gawai dan internet siswa yang terkendala saat PJJ.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menilai Program Organisasi Penggerak (POP) yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) perlu dibatalkan sepenuhnya. Ia mengusulkan anggaran POP yang terlalu besar dialihkan untuk kebutuhan ponsel dan kuota di masa pembelajaran jarak jauh (PJJ).

"Menurut saya POP ini, kalau tetap dipaksakan, walaupun ada aspirasi mendingan dibatalkan seluruhnya," kata Syaiful Huda dalam diskusi yang digelar pada Kamis (30/7).

Baca Juga

Kendati demikian, Huda mengaku melihat gelagat bahwa Mendikbud Nadiem Makarim ingin tetap melaksanakan POP ini. Maka itu, menurut Huda, anggaran sebanyak Rp 100 miliar seharusnya sudah cukup bagus.

"Selebihnya kurang lebih sekitar Rp 495 miliar lebih baik dipakai untuk mensubsidi kuota dan pembelian ponsel untuk anak-anak peserta didik di daerah-daerah yang mengalami kesulitan menyangkut soal ini," ujar Huda.

Huda mengakui, awalnya Komisi X memang menyetujui program ini sebelum masa pandemi Covid-19 dengan anggaran Rp 595 miliar. Namun, Komisi X sudah sempat mempertanyakan soal siapa saja sesungguhnya organisasi penggerak yang dianggap mempunyai kriteria hingga mekanisme program tersebut.

"Dari dua hal tersebut memang belum ada jawabannya yang cukup jelas dari Kemendikbud, bagaimana skema ini akan dilaksanakan, terkait itu supaya tidak ada jurang antara gagasan dengan level operasionalnya," ujar Huda.

Ia juga menambahkan, skema awal yang dijelaskan oleh Kemendikbud adalah skema APBN. Namun, ketika ada gelombang protes dari publik yang kuat, muncul dua skema tambahan. Yaitu skema mandiri pembiayaan mandiri dan skema pembiayaan pendampingan.

"Kemendikbud hanya menyampaikan dan setahu kami di komisi X hanya satu skema yaitu pool APBN," kata politikus PKB tersebut.

"Artinya dua skema yang dirilis oleh Kemendikbud yang terakhir ini, di mata saya, ini mungkin bagian dari way out Kemendikbud, ketika dapat protes kuat, menyangkut tercantumnya atau diloloskan nya dua organisasi atau yayasan yaitu Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation," kata Huda menambahkan. Huda pun meminta Kemendikbud mengevaluasi ulang baik dalam hal anggaran hingga mekanisme organisasi penggerak itu, apabila tetap ingin menjalankan program tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement