REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai perlu membentuk badan nasional penanggulangan bencana sampah karena Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah belum berjalan efektif.
CEO perusahaan aplikasi sampah PT Mountrash Avatar Indonesia Gideon W Ketaren mengatakan berdasarkan Pasal 44 UU No 18/2008, pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama satu tahun sejak beleid itu berlaku.
Selain itu, pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama lima tahun sejak UU itu berlaku.
"Presiden Jokowi harus segera membentuk badan nasional penanggulangan bencana sampah, karena pemda sudah gagal dalam melaksanakan UU No 18 Tahun 2008 Pasal 44. Pemda harus menghentikan kegiatan open landfill dalam lima tahun setelah diundangkannya UU tersebut. Sekarang sudah 12 tahun berlalu tidak satupun TPA open landfill yang ditutup. Bahkan, terus diperluas arealnya dan ditingkatkan terus anggarannya. Ini jelas-jelas melanggar konstitusi kita," ujarnya di Jakarta, Selasa (21/7).
Menurut dia, persoalan sampah bukan lagi hanya menyangkut satu wilayah, tetapi sudah menjadi permasalahan transnasional sehingga perlu strategi tepat dalam penanggulangannya.
“Regulasi hari demi hari terus digulirkan, tetapi sampah kian hari semakin menggunung. Artinya, kita tidak bisa menyelesaikan persoalan sampah ini hanya dari sisi regulasi saja, harus terstruktur, sistematis dan masif,” tuturnya.
Gideon menambahkan daerah berjuang sendiri-sendiri dan terkendala dari segi anggaran, sumber daya manusia, dan teknologi.
Hal tersebut menyebabkan pemda tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan sampah. “Selain itu, terlalu banyak birokrasi yang terlibat dalam persoalan sampah ini," pungkas Gideon.
Pada Selasa ini, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meresmikan tempat pengolahan sampah menjadi bahan bakar dengan metode refuse-derivedfuel (RDF) di Cilacap, Jawa Tengah.
Metode ini merupakan teknologi pengolahan sampah melalui proses homogenizers menjadi ukuran dan butiran kecil (pellet) yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk sumber energi terbarukan dalam proses pembakaran pengganti batubara.
Selain itu, pengolahan dengan metode RDF bisa menghasilkan bahan bakar lainnya seperti bahan bakar minyak jenis solar (diesel).
Luhut bercerita bahwa Presiden Joko Widodo sangat concern terhadap pengelolaan sampah. Menurutnya, Jokowi sempat kesal karena program waste to energy atau pengolahan sampah menjadi sumber energi belum tuntas.
"Kita sudah 12 tahun bicara waste to energy, Presiden kritik terus kami pembantunya rapat terus, tetapi kok tidak jadi-jadi. Sekarang ini jadi barang ini (RDF Cilacap)," kata Luhut saat meresmikan fasilitas RDF Cilacap yang disiarkan langsung via YouTube, Selasa.
Luhut mengatakan pemerintah akan memperbanyak pabrik pengolahan sampah metode RDF.
Dia juga meminta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ikut terlibat mengembangkan teknologi RDF. Menurutnya, pemerintah menyepakati metode RDF untuk diperluas di tempat lain.
Menurut Luhut, pihaknya akan melakukan rapat internal untuk menindaklanjuti pengembangan program ini.
Dia mengatakan biaya membuat alat RDF berkisar di antara Rp70 miliar-Rp80 miliar. Kota dengan jumlah sampah di bawah 200 ton, menurutnya, akan diusahakan memiliki fasilitas RDF.
Fasilitas RDF di Cilacap menjadi yang pertama di Indonesia. Pembangunannya merupakan kerja sama antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kedutaan Besar Denmark-DANIDA, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Cilacap, dan PT Solusi Bangun Indonesia (sebelumnya PT Holcim).
Pabrik RDF ini akan dioperasikan Pemerintah Kabupaten Cilacap bekerja sama dengan PT Solusi Bangun Indonesia.
Nantinya, pabrik akan mengolah 120 ton sampah per hari. Sampah akan diolah menjadi briket sebanyak 30-40 ton yang akan digunakan untuk bahan bakar PT Solusi Bangun Indonesia sebagai pengganti batubara.