Selasa 21 Jul 2020 18:57 WIB

Argumentasi PDIP yang tak Ingin Cabut Hak Politik Gibran

"Jangan sampai karena Gibran anak Presiden, hak politiknya dicabut," kata Basarah.

Bakal calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka (kiri) berada di kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (17/7/2020). Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa resmi mendapat rekomendasi PDI Perjuangan untuk maju sebagai bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo pada Pilkada serentak Desember mendatang.
Foto: Antara/Mohammad Ayudha
Bakal calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka (kiri) berada di kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (17/7/2020). Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa resmi mendapat rekomendasi PDI Perjuangan untuk maju sebagai bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo pada Pilkada serentak Desember mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Binti Sholikah, Mimi Kartika, Ali Mansur

PDIP telah mengumumkan 45 pasangan calon kepala daerah tahap kedua untuk berlaga di Pilkada 2020 yang akan digelar serentak pada 9 Desember tahun ini. Di antara calon kepala daerah itu adalah putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka yang maju di Pilkada Solo.

Baca Juga

Gibran dipasangkan dengan Teguh Prakoso. Sekretaris DPC PDIP Solo itu sebelumnya merupakan wakil bakal calon wali kota Achmad Purnomo yang memutuskan mundur dari pesta demokrasi nasional tersebut.

Ketua DPP Partai Demokrasi Indoenesia Perjuangan (PDIP), Ahmad Basarah mengatakan, Gibran telah melewati proses elektoral yang semestinya. Sehingga, ia membantah jika pencalonan Gibran di Pilwalkot Solo merupakan bentuk politik dinasti.

"Gibran ikut kontestasi Pilkada Solo harus berkompetisi di dalam internal PDIP, untuk kemudian mendapat tiket Pilkada Solo, untuk berkontestasi," ujar Basarah saat dikonfirmasi, Selasa (21/7).

Adapun menurutnya, politik dinasti adalah politik regenerasi kekuasaan atau jabatan politik. Di mana bersifat turun temurun, tanpa proses elektoral dan pemilihan langsung oleh rakyat.

Sedangkan Gibran, disebutnya harus melewati sejumlah hal di internal partai. Hingga akhirnya, PDIP mengusungnya sebagai calon wali kota Solo.

"Serta masih harus melalui tahapan pemilihan oleh rakyat pada pencoblosan pilkada bulan Desember yang akan datang," ujar Basarah.

Rakyat Solo, kata Basarah, memiliki kuasa penuh untuk menentukan siapa pemimpinnya.

"Jangan sampai karena Gibran anak seorang Presiden lalu hak-hak politiknya dicabut. Padahal tidak seorang pun di dunia ini yang boleh memilih harus menjadi anaknya siapa," ujar Wakil Ketua MPR itu.

Bakal calon wali kota yang diajukan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Solo, Achmad Purnomo, menyatakan siap membantu tim pemenangan pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa yang sudah resmi mendapat rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, jika dimintai bantuan. Namun, sejauh ini Purnomo menyatakan belum dimintai bantuan apa pun.

Sebelumnya saat bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Presiden pada Kamis (16/7), Purnomo juga diminta oleh Jokowi agar membantu memberikan saran-saran kepada Gibran jika nantinya memimpin Kota Solo.

"Tapi Mas Gibran belum minta, mintanya apa, mampu tidak saya. Pokoknya siap membantu," ujar pria yang saat ini menjabat sebagai Wakil Wali Kota Solo tersebut kepada wartawan, Senin (20/7).

Simbol pengaruh Jokowi

Menurut Direktur Eksekutif Media Survei Nasional (Median), Rico Marbun, pemberian rekomendasi dari DPP kepada Gibran menjadi simbol kekuatan pengaruh Jokowi di PDIP. Informasi Purnomo tidak mendapatkan rekomendasi partai justru bukan disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tapi langsung oleh Jokowi di Istana Presiden, Jakarta, pada Kamis (16/7) menjadi petunjuk.

"Mengapa bukan Bu Mega yang memanggil. Kan rasanya ini simbol kuatnya pengaruh Pak Jokowi dalam tubuh PDIP," ujar Rico kepada Republika, Jumat (17/7).

Rico menuturkan, sosok Presiden Jokowi menjadi salah satu pertimbangan utama pemberian rekomendasi PDIP kepada Gibran. Dengan demikian, dinasti politik keluarga Jokowi mulai terbangun dengan mulusnya Gibran maju menjadi kandidat di Pilwakot Solo tahun ini.

Ia pun menantikan cara Gibran meraih kekuasaan, apakah melalui jalur kompetisi yang adil atau tidak. Kemudian, apakah Gibran menjadi bakal calon kepala daerah berdasarkan kemampuan atau hanya sebatas faktor kekerabatan dengan Presiden Jokowi.

"Secara teoretis apa yang berlaku pada Gibran ialah dinasti, tapi ya jujur saja, kan Gibran tidak sendirian di sini. Jadi yang perlu dilihat selanjutnya adalah apakah kompetisi yang terjadi nanti di pilkada akan fair atau tidak," kata Rico.

Rico juga menantikan sikap Purnomo yang setelah gagal mendapatkan rekomendasi PDIP. Mengingat Purnomo masih mengantongi elektabilitas yang tinggi berdasarkan hasil survei. Purnomo juga masih memiliki waktu karena pendaftaran calon kepala daerah jalur partai politik masih beberapa bulan mendatang.

"Ada tidak kandidat lain yang muncul untuk melawan Gibran? Bisa Pak Purnomo sendiri atau tokoh partai yang lain," tutur Rico.

Apabila tidak ada yang berani melawan Gibran, Rico menyebutkan, kemungkinan Gibran akan bersaing dengan kotak kosong. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Rico dapat menjadi penilaian masyarakat terhadap upaya partai melakukan tugas dan fungsinya atau justru melanggengkan praktik politik dinasti.

"Jawaban atas ketiga dinamika itu yang membuat masyarakat akan menilai apakah partai politik sudah melakukan tugasnya atau larut dalam dinasti," tutur Rico.

Pilkada 2020 di sejumlah daerah memang bakal diramaikan keluarga Presiden Jokowi. Selain Gibran, ada menantu Jokowi Bobby Afif Nasution yang menikah dengan Kahiyang Ayu dan Wahyu Purwanto yang adalah suami dari adik kandung Jokowi serta Dolly Sinomba Siregar adalah paman dari Bobby Nasution.

"Masuknya nama putra sulung dan menantu serta besan presiden Jokowi dalam bursa calon kepala daerah 2020 menjadi sorotan publik," ujar pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Senin (20/7).

Menurut Pangi, memang secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar dan membatasi siapa pun termasuk anak atau keluarga presiden sekali pun untuk terlibat dalam politik praktis. Namun tersandera soal etika dan kepatutan, semestinya harus dipertimbangkan matang, jangan terkesan seperti fenomena “politik aji mumpung” kebetulan bapaknya lagi jadi presiden.

Menurut Pangi, praktik politik dinasti tidak sehat bagi internal partai politik. Selain langkah ini akan melahirkan konflik internal yang merusak tradisi meritokrasi, memprioritaskan figur kader internal yang sudah berdarah-darah membesarkan partai.

Politik dinasti, kata Pangi, pada dasarnya sudah mengakar kuat di Indonesia mulai dari dinasti Soekarno, Soeharto, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, untuk Jokowi adalah eksperimen awal membangun trah dinasti politiknya.

"Pertanyaannya adalah apakah Jokowi sudah menyiapkan infrastruktur untuk menopang politik dinastinya?" ucap Pangi.

photo
Kontroversi Pilkada di tengah pandemi Covid-19. - (Berbagai sumber/Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement