Senin 20 Jul 2020 14:57 WIB

Corona Buat Anak Alami Tekanan Psikososial

Pembelajaran daring di rumah, tak mengurangi rentannya terjadi risiko kekerasan anak.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati / Red: Agus Yulianto
(dari kiri) Psikiater Fidiansjah bersama Psikiater Dadang Hawari menggelar konferensi pers di Jakarta. (Republika/Wihdan Hidayat)
Foto: Republika/ Wihdan
(dari kiri) Psikiater Fidiansjah bersama Psikiater Dadang Hawari menggelar konferensi pers di Jakarta. (Republika/Wihdan Hidayat)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat pandemi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) membuat anak-anak Indonesia mengalami tekanan psikososial. Di antaranya merasa bosan tinggal di rumah, hingga ikut khawatir dengan penghasilan keluarga.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Fidiansjah mengutip data dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) Wahana Visi Indonesia mengatakan, bahwa virus ini meningkatkan tekanan psikososial.

"Ini mengkhawatirkan, 47 persen anak merasa bosan tinggal di rumah, 35 persen anak khawatir ketinggalan pelajaran karena ia tidak biasa mengikuti pelajaran di rumah, kemudian 15 persen anak merasa tidak aman, 34 persen anak takut terkena penyakit termasuk Covid-19, kemudian 20 persen merindukan teman-teman, dan 10 persen anak khawatir tentang penghasilan orang tua dan kekurangan makan," ujarnya saat mengisi konferensi pers virtual di akun youtube saluran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bertema Status Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja di Masa Pandemi, Senin (20/7).

Bahkan, kata dia, 11 persen anak mengalami kekerasan fisik selama menjalani proses belajar yang tidak lazim di rumah dan 62 persen anak mengalami kekerasan verbal. Jadi, dia menambahkan, potret itu menggambarkan betapa tingginya persoalan kesehatan jiwa pada anak remaja kalau tidak diantisipasi dengan cepat.

Pemerhati Kesehatan Jiwa Anak UNICEF Ali Aulia Ramly mengutip satu studi yang dilakukan oleh LSM lainnya, yaitu peningkatan kekerasan pada anak. Dari 1.200 responden, dia menyebutkan, 200 hingga 300 orang di antaranya mengaku mengalami kekerasan.

"Kemudian hampir 30 persen di antaranya (korban kekerasan) dialami anak," katanya.

Dia menambahkan, meski pendidikan pada anak dijalankan melalui daring di rumah, tapi ini tidak mengurangi rentannya terjadi risiko kekerasan. 

"Artinya persoalan bukan hanya ketika anak diam di rumah, tetapi ada tekanan psikologis meningkatnya kekerasan di rumah dan ini harus menjadi perhatian bersama," ujarnya.

Dia mencontohkan konkret kekerasan emosional adalah menjelek-jelekan si anak. Misalnya dengan mengatakan bodoh, merendahkan si anak. Kekerasan lainnya juga bisa memukul anak, dicubit kenapa tidak bisa mengerjakan tugas. "Ini perlu dipahami bersama-sama dan perlu dicegah," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement