Senin 20 Jul 2020 07:04 WIB

Pembubaran Lembaga, Presiden Diminta Evaluasi BLU

Presiden berniat membubarkan 18 lembaga negara.

Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih mendorong pemerintah mengevaluasi BLU di kementerian dan lembaga negara.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih mendorong pemerintah mengevaluasi BLU di kementerian dan lembaga negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pembubaran 18 lembaga oleh Presiden Joko Widodo direspon positif oleh Alamsyah Saragih Komisioner Ombudsman Republik Indonesia. Namun menurut Alamsyah jika presiden ingin melakukan efesiensi dan mewujudkan cita-cita untuk membuat sovereign wealth fund, seharusnya presiden dapat memprioritaskan pembubaran, peleburan dan pembenahan Badan Layanan Umum (BLU) yang dimiliki oleh Kementerian/ Lembaga.

“Alangkah baiknya jika Presiden memprioritaskan pembubaran, peleburan dan pembenahan BLU yang dimiliki oleh Kementrian/ Lembaga. Sebab dana dan inefisiensi di BLU jauh lebih besar ketimbang di Kementrian/ Lembaga," kata Alamsyah di Jakarta, Ahad (19/7).

Presiden Joko Widodo berniat merampingkan pemerintahan. Tujuan perampingan ini, lanjut Presiden adalah sebagai langkah efisiensi di tengah pandemi Covid-19 yang saat ini masih berlangsung. Setidaknya presiden sudah mengantungi 18 lembaga yang masuk dalam daftar pembubaran dan kemungkinan bakal ada pensiun dini PNS.

Menurut Alamsyah, peleburan 18 lembaga itu dana dan efesiensinya masih terlalu kecil dan tidak terlalu berpengaruh besar. "Lebih baik BLU di bawah Kementrian/ Lembaga itu yang dikonsolidasikan. Apalagi Presiden pernah memiliki cita-cita sovereign wealth fund,” kata Alamsyah.

Sejatinya pendirian BLU adalah untuk memberikan pelayanan yang cepat kepada masyarakat. Sebab jika menggunakan anggaran pemerintah, pasti memerlukan proses yang cukup lama khusunya dalam menggeluarkan anggaran. Dengan adanya BLU proses pelayanan kepada masyarakat dapat dipercepat.

Ombudsman memberikan contoh pembuatan BLU untuk sektor kesehatan. Jika ingin melakukan renovasi rumah sakit dengan menggunakan anggaran pemerintah daerah, mereka harus mengajukan terlebih dahulu melalui anggaran tahunan. Jika melalui proses pengajuan anggaran maka pencairannya pun lambat.

“Jika rumah sakit menjadi BLU maka uang masuk dari retribusi dapat dikelola langsung oleh BLU tersebut guna meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, justru perkembangan BLU merubah sifatnya menjadi pengelola dana dan bukan lagi memberikan pelayanan kepada masyarakat. Contohnya BLU BAKTI yang berada di bawah Kementerian Kominfo, Bapertarum yang saat ini menjadi TAPERA dan BPJS Kesehatan,” tutur Alamsyah.

Akibat BLU ini sudah berkembang sedemikian rupa hingga menggelola dana maka fungsi mereka yang seharusnya memberikan layanan kepada masyarakat tidak berjalan efektif, justru saat ini mirip sebagai fund manager yang mencari keuntungan. Bukan lagi berfungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat seperti sovereign wealth fund. Yang lebih parah lagi menurut Alamsyah tingkah pola mereka saat ini sudah mirip dengan perusahaan swasta.

“Sehingga jika Presiden ingin melakukan efesiensi dan mewujudkan sovereign wealth fund, justru pembenahan dan pengembalian khitah BLU menjadi sangat vital. Jika ingin dilebur juga harus ada kajian yang mendalam. Misalnya dalam cluster yang sama. Saat ini Kementrian Keuangan merupakan Kementrian yang memiliki banyak BLU,” ujar Alamsyah.

Lagi-lagi BLU yang disorot oleh Ombudsman yang berprilaku seperti swasta adalah BAKTI, yang dahulu bernamaBalai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI). Sebelum era Menteri Rudiantara, BP3TI fokus mengelola dana USO dan membiayai layanan telekomunikasi yang disediakan oleh operator untuk daerah terpencil serta tak menguntungkan.

Uang yang dipergunakan oleh BAKTI untuk membiayai layanan telekomunikasi di daerah terpencil tersebut berasal dari iuran operator. Namun kini BAKTI sudah berprilaku sebagai operator telekomunikasi. Lebih jauh, BAKTI bercita-cita untuk menggelola satelit layaknya operator telekomunikasi.

Sebagai BLU, sejatinya BAKTI bertugas memastikan sampainya layanan telekomunikasi ke masyarakat. BAKTI harus mengorkestrasi operator telekomunikasi dalam menyediakan layanan telekomunikasi di wilayah USO. Namun, yang terjadi adalah BAKTI terjebak sebagai penyedia backbone Palapa Ring dan menyewakannya kepada operator telekomunikasi. BAKTI berfokus dalam mengejar pendapatan. Terkait ketersediaan layanan telekomunikasi bagi masyarakat di wilayah USO, BAKTI terkesan abai dan menyerahkannya kepada operator.

Di depan anggota DPR pun, BAKTI berencana memanfaatkan satelit multifungsi SATRIA untuk melayani sektor pendidikan, kesehatan dan pemerintahan daerah yang saat ini belum terjangkau oleh jaringan telekomunikasi teresterial. Setidaknya BAKTI akan menyiapkan layanan telekomunikasi ke 150 ribu titik. Padahal selama ini untuk penyediaan layanan telekomunikasi di daerah terpencil dilakukan oleh operator yang dibiayai oleh BAKTI dengan menggunakan dana USO hasil kontribusi operator.

“Seharusnya tujuan pendirian BAKTI adalah mengorkestrasi operator telekomunikasi agar dapat memberikan layanan telekomunikasi kepada masyarakat di wilayah terpencil. Uangnya berasal dari dana USO yang merupakan iuran dari perusahaan telekomunikasi," ucap dia.

Alamsyah berkata, saat ini BAKTI malah ingin memiliki satelit dan menjual layanan telekomunikasi seperti operator. Wilayah yang dilayani SATRIA sangat beririsan dengan wilayah yang dilayani oleh Palapa Ring. Jangan sampai, kata dia, pembangunan ini menjadi over investment atau justru saling kanibal, padahal dana BAKTI berasal dari operator telekomunikasi.

"Ini sudah menyalahi khitah berdirinya BAKTI sebagai sovereign wealth fund. Ombudsman dalam waktu dekat akan melihat perkembangan dan perubahan fungsi BLU tersebut,” terang Alamsyah.

Sebelumnya Ombudsman pernah mengkritisi BAKTI yang saat ini jauh dari filosofi awal pembentukannya. Dahulu BAKTI hanya melakukan tender dan membiayai pembangunan jaringan telekomunikasi di daerah USO. Namun kini BAKTI sudah bertransformasi sebagai operator.

Contohnya BAKTI yang menggelola jaringan Palapa Ring Paket Timur, Tengah dan Barat. Bahkan saat ini BAKTI berencana memiliki satelit kecepatan tinggi (HTS). Dengan satelit maka tak hanya daerah USO saja yang dapat dilayani BAKTI. Daerah perkotaan yang saat ini sudah dilayani operator telekomunikasi juga akan dapat dilayani oleh BLU Kemenkominfo tersebut.

Padahal Palapa Ring yang dibangung BAKTI masih belum terutilisasi dengan penuh. Jaringan backbone yang dibangun BAKTI, ada 12 pairs, dengan aktivasi satu pair, kapasitas 100 GBPS. Adapun utilisasi dari 1 pair paket Barat 27 persen, paket Tengah: 9 persen dan Timur: 16 persen. Belum semua jaringan backbone diutilisasi BAKTI, namun BLU tersebut sudah berencana memiliki satelit. Ombudsman mempertanyakan BLU di bawah Kementerian Kominfo yang bekerja dengan over investment tanpa melakukan utilisasi infrastrktur yang sudah dibangun sebelumnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement